Belum lama ini, tayang sebuah film yang disutradarai oleh Lee Joon-Ik, film yang berjudul Anarchist from Colony tersebut sedikitnya berhasil menarik perhatian para penggemar film, terutama para anarkis. Film berdurasi 129 menit yang diangkat dari kisah nyata itu menceritakan perjuangan seorang anarkis bernama Park Yeol dan kawan-kawannya yang berasal dari Korea dan tinggal di Jepang, di masa di mana Korea berada di bawah kendali Jepang. Mereka bersama-sama merencanakan sebuah misi rahasia, tak lain, menerror kekaisan Jepang.
Film tersebut juga dibungkus dengan kisah romansa antara Park dan seorang nihilis asal Jepang yang bernama Fumiko Kaneko. Ketika kekacauan pecah pasca gempa bumi Kantō pada 1 September 1923, terjadi berbagai kasus pembantaian terhadap orang-orang Korea, dan mereka yang dianggap sebagai pemberontak ditangkap secara acak. Satu hari setelah gempa bumi hebat tersebut, Park dan kawan-kawannya ditangkap dan di penjara. Kemudian, ketika diinterogasi, Park mengaku kepada pihak keamanan Jepang bahwa ia seorang diri yang merencanakan semua terror, sehingga membuat kawan-kawannya dibebaskan. Tapi tidak dengan Fumiko. Gadis yang kala itu berusia 26 tahun justru mengatakan sebaliknya kepada pihak keamanan, ia mengaku bahwa ia mengetahui dan menyusun semua rencana terror bersama Park, pernyataan tersebut membuat Fumiko tidak dibebaskan.
Tapi, tulisan ini bukanlah sebuah review film, bukan juga suatu fokus terhadap keberanian Park Yeol yang individualistik sekaligus altruis—sejak ia menyadari bahwa revolusinya hanya akan berhasil dengan kematiannya yang akan membuat dunia menyadari betapa kejamnya kekaisaran Jepang, melainkan tulisan yang akan membuat kita sedikit lebih jauh mengenal Fumiko Kaneko.
Fumiko Kaneko lahir di Yokohama pada 25 Januari 1903. Ia lahir dari seorang Ayah mantan Polisi alkoholik yang kasar, dan Ibunya adalah seorang buruh. Kedua orang tuanya tidak menikah secara legal, sehingga Fumiko menjadi seorang anak yang tak terdaftar, hal tersebut juga membuat Fumiko “tak pantas” menyandang nama Saeki sebagai nama keturunan Ayahnya, Fumikazu Saeki, sehingga kemudian Fumiko diberi nama akhir Kaneko, dari Ibunya, Kikuno Kaneko. Karena status dirinya sebagai anak yang tak terdaftar tersebut jugalah yang akhirnya membuat Fumiko tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal dan seakan-akan dikucilkan oleh masyarakat.
Setelah Ayahnya pergi, Ibunya sempat beberapa kali menjalin hubungan dengan lelaki lain dengan harapan memperbaiki keadaan. Tapi hubungan tersebut tak satu pun ada yang berjalan baik, dan akhirnya mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Ketika frustasi Ibunya memuncak, ia tak lagi memiliki solusi lain selain berencana menjual Fumiko kepada prostitusi. Tapi rencana itu batal setelah Ibunya mengetahui bahwa Fumiko akan dikirim ke wilayah lain di Jepang.
Masa-masa sulit berlalu, akhirnya Ibunya menikah lagi dan mengirim Fumiko ke Korea untuk tinggal di Bugang bersama Neneknya. Fumiko cukup senang dengan keputusan tersebut, karena Neneknya berjanji akan mengadopsinya dan memberikan pendidikan yang baik untuknya. Tapi kemudian tak banyak yang berubah, ia tak pernah benar-benar diadopsi dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Bahkan setelah beberapa tahun, Fumiko cenderung kembali dikucilkan karena ia disebut tidak pantas menyandang nama Iwashita dari Neneknya. Tak hanya itu, Nenek dan Bibinya juga seakan-akan sekadar menjadikan Fumiko sebagai pembantu rumah tangga.
Fumiko masih bisa sedikit merasa senang, karena setidaknya ia bisa mengenyam pendidikan formal di Korea. Tapi hidup tak selalu berjalan sesuai apa yang diharapkan. Awalnya, Fumiko dijanjikan untuk mendapat pendidikan yang baik dan layak agar kelak ia bisa masuk perguruan tinggi, tapi kemudian Fumiko hanya diberi kesempatan sekolah hingga bangku Sekolah Menengah Pertama, ia juga dilarang untuk membaca atau mempelajari hal lain yang tak ada hubungannya dengan pelajaran di sekolah. Setelah masa sekolahnya berakhir, Fumiko menghabiskan waktu untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah dan seringkali mendapatkan kekerasan dari Nenek dan Bibinya yang pada akhirnya membuat ia terkadang berpikir untuk bunuh diri.
Pengalamannya di Korea tersebut, tercatat di dalam sebuah memoar yang ia tulis ketika ia di penjara, Fumiko menyebut masa-masa di Korea sebagai salah satu masa tersulit dalam hidupnya.
Fumiko tak pernah benar-benar merasa bahagia di Korea, selain perlakuan kasar dari Nenek dan Bibinya, penderitaan yang dialami Fumiko juga ditambah dengan rasa kesepian karena ia dilarang bergaul (di sekolah, Fumiko cenderung lebih senang bergaul dengan lelaki, dan Neneknya tak menyukai itu). Jadi, ia menyimpan semua rasa sakit dan penderitaannya sendiri. Ya, hanya ia dan dirinya.
Pada Maret 1919, tepat sebelum Fumiko dikirim kembali ke Jepang, orang Korea mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut kemerdekaan bangsanya. Sedikitnya 2000 orang Korea kehilangan nyawa dan 20.000 lainnya ditangkap. Akibat perlakuan kasar yang ia terima dari orang tua dan Neneknya, serta pengamatannya terhadap pemerintahan militer Jepang yang keras di Korea—kemudian membentuk pemikiran Fumiko terhadap segala bentuk otoritas, ia berjanji akan terus memberontak dan melawan semua orang dan institusi yang otoriter.
Dari kehidupan yang sulit, kesepian, dan kesengsaraan tersebutlah yang membentuk kepribadiannya menjadi kuat, yang pada akhirnya membuat ia mengamini filsafat nihilistik dan jalan hidup anarkis.
Akhirnya Fumiko kembali ke Jepang, dan pergi ke Tokyo pada tahun 1920 setelah menolak permintaan keluarganya untuk menikah sesuai tradisi. Di Tokyo, ia hidup dan berjuang sendiri, melanjutkan sekolahnya sekaligus bekerja sebagai gadis penjual koran, seperti yang juga ia cantumkan dalam memoarnya, penjual sabun, dan pelayan. Selain nihilisme dan anarkisme yang membentuk pandangan Fumiko terhadap sistem dan kehidupan secara umum, ia juga menolak berbagai tradisi patriarkis di Jepang dengan memilih untuk lebih mempelajari matematika, bahasa Inggris dan Cina klasik, lalu masuk sekolah kedokteran serta memilih sekolah yang lebih dominan dihadiri oleh lelaki.
Feminismenya terungkap saat ia menyatakan bahwa ia ingin memenangi kompetisi akademis dengan para lelaki. Meskipun pendidikan formalnya tidak jelas, Fumiko memang orang yang cerdas. Ia membaca secara ekstensif dan banyak terinspirari oleh gagasan Bergson, Herbert dan Hegel. Fumiko juga sangat terkesan oleh para pemikir nihilis dan individualis seperti Nietzsche, Stirner dan Artsybashev. Fumiko percaya bahwa menyatakan diri adalah perlawanan politik terbaik, bahwa anarki bisa menjadi individualistik, bahwa masyarakat hanyalah benalu yang menggerogoti di mana selalu yang kuat melahap yang lemah—dan bahwa gerakan politik tidaklah memberikan kelegaan apa pun. “Apakah itu revolusi, jika hanya mengganti satu kekuasaan dengan yang lainnya?” Tulisnya dalam memoarnya.
Satu-satunya tindakan yang layak, Fumiko berpikir, adalah untuk “mempertaruhkan nyawa(nya)” pada pemberontakan melawan otoritas. Di penjara, ia menulis bahwa kematian adalah kebebasan “jika seseorang memiliki kehendak untuk mati!”
Seperti apa yang sebelumnya ditulis diawal, ketika diinterogasi, Fumiko memberikan pernyataan yang justru seakan-akan bertentangan dengan pernyataan Park, yang membuat Fumiko tak dibebaskan dari penjara. Tapi itulah yang ia mau, ia tetap ceria ketika pertama kali ditahan pada Juli 1925. Bahkan ia masih ceria ketika ia dan Park dituduh melakukan pengkhianatan tinggi dengan rencana merobohkan kekaisaran Jepang, tuduhan tersebut diberikan tanpa bukti yang jelas, dibuat hanya untuk mencari pembenaran atas pembunuhan orang-orang Korea dan menunjukan bahwa orang Korea yang berbahaya adalah mereka yang berada di luar negeri.
Fumiko dan Park menghabiskan masa-masa di penjara dengan berbagai permintaan aneh, seperti kekeuh ingin saling mengirim surat dan di foto menggunakan pakaian tradisional Jepang di ruang interogasi. Fumiko sangat nyaman berada di sisi Park, ia tak lagi merasa kesepian, sehingga ia akan melakukan apa pun agar ia tetap bersama Park. Di masa-masa itu jugalah Fumiko menulis memoarnya dengan pena dan kertas yang ia dapat dengan sedikit memohon kepada pihak keamanan.
Hari demi hari berlalu, dan pada 25 Maret 1926, untuk pertama kalinya, Fumiko semakin dekat dengan apa yang ia sebut kebebasan. Pada hari itu, Fumiko dan Park akhirnya dijatuhi hukuman mati. Walau pun banyak media asing dan pengacara yang membela mereka, mereka tak menginginkan itu, mereka menganggap hukuman mati tersebut sebagai opsi terbaik.
Park memiliki perasaan yang sama, Park ingin tetap bersama dengan Fumiko. Park yang juga kesepian, sakit dan hanya tinggal di rumah kawan-kawannya yang berbeda hampir setiap malam, seperti puisinya yang berjudul “Anjing Liar”, merasakan koneksi yang lain ketika ia mengenal Fumiko. Itulah yang membuat Park, sebelum hukuman mati dilakukan, meminta agar nantinya Fumiko dimakamkan di pemakaman keluarganya di Korea, agar setidaknya, Fumiko merasa memiliki keluarga.
Tapi, 10 hari kemudian, semuanya berubah, hukuman mati dibatalkan untuk menjaga citra kekaisaran Jepang yang terkenal adil dan bijaksana. Dengan berat, Park menerima keputusan itu, tapi Fumiko menolaknya dan berkata “Kau mempermainkan kehidupan orang-orang, membunuh atau membiarkan hidup sesuai keinginanmu sendiri. Apakah aku harus dibuang sesuai dengan keinginanmu juga?”
Keduanya kemudian dikirim ke penjara di Utsunomiya, tapi mereka tak pernah lagi bertemu dan bahkan tak lagi saling mengirim surat. Fumiko kembali ke kesepian yang dulu ia rasakan, ia menjadi pendiam dan selalu menolak untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan di penjara. Tapi sekitar tiga bulan kemudian, ia meminta agar ia diberi izin untuk bekerja menenun tali seperti tahanan lainnya. Keesokan paginya, pada 23 Juli 1926, ia ditemukan telah menggantung dirinya dengan tali yang telah ditenunnya. Walau ada beberapa hal mencurigakan di kematian Fumiko, para dokter yang melakukan otopsinya merasa tersentuh dan kagum, “tindakan bunuh diri yang direncanakan dengan cermat, dan tenang.”
Park terpukul atas kematian Fumiko, ia juga sedikit merasa kecewa karena Fumiko tak menepati janjinya untuk mati bersama. Park menjalani masa-masa hukuman dengan sulit dan seringkali melakulan mogok makan. Ia kemudian dibebaskan setelah Perang Dunia II berakhir.
Fumiko dan Park ketika di foto menggunakan pakaian tradisional di ruang interogasi ketika mereka berdua ditahan atas tuduhan pengkhianatan terhadap Kekaisaran Jepang, saat itu juga Park mengajukan pernikahan legal dengan Fumiko sesaat setelah ancaman hukuman
Hingga kematiannya, kesepian tak pernah benar-benar meninggalkan Fumiko, seakan-akan menjadi teman yang selalu ada di setiap fase kehidupan yang ia jalani. Walau pun sempat mengenal Park dan menemukan sedikit alasan untuk tetap hidup, ternyata kehidupan selalu memberi kejutan yang tak terduga. Harapan-harapan hancur bahkan sebelum rencana selesai dibuat dengan sempurna, itulah yang terjadi kepada Fumiko. Masa kecil penuh kekerasan dan belenggu kemiskinan, masa remaja yang diawasi dan dibatasi, hingga ia dewasa pun ia tak pernah benar-benar memiliki keadilan setelah keinginannya untuk tetap bersama Park hingga mati harus pupus oleh pihak keamanan Jepang yang sewenang-wenang.
Fumiko Kaneko, seorang gadis yang tak membiarkan dirinya mempercayai siapa pun atau apa pun selain egonya sendiri. Dan sumpah, keinginan, harapan, atau apapun itu; tidaklah selalu menjadi kenyataan. Mungkin ketika di ruang sidang ia berpikir bahwa Park akan memilih untuk tetap hidup. Mungkin hal itu meyakinkannya tentang apa yang ia curigai selama ini: bahwa hanya ada dirinya sendiri, dan akan selalu sendiri.
Di penjara sebelum Fumiko ditemukan bunuh diri, ia menulis puisi. Salah satunya ditemukan setelah ia mati:
“Ganja kecil itu melilit di jariku. Ketika aku menariknya dengan lembut, itu terdengar agak samar, “Aku ingin hidup,” Berharap untuk tak tertarik keluar, menggali tumitnya sendiri. Aku merasa sedih, sangat sedih. Apakah ini akhir dari perjuangan yang pahit untuk hidup? Aku tertawa terbahak-bahak.”
***
Tulisan ini juga sedikit merangkum beberapa informasi dari Wikipedia, Archieve dan memoar Fumiko yang berjudul The Prison Memoirs of a Japanese Woman.
Ditulis oleh: Randy Radomski