
Oleh: Peja
Bagi mereka yang hidup sebagai saksi kehancuran, Segala sesuatu di dunia ini tampak pudar; Dan hanya dalam hati yang penuh dengan rasa sakit, Segala sesuatunya berwarna biru.
Unduh poster di sini:
Oleh: Peja
Bagi mereka yang hidup sebagai saksi kehancuran, Segala sesuatu di dunia ini tampak pudar; Dan hanya dalam hati yang penuh dengan rasa sakit, Segala sesuatunya berwarna biru.
Unduh poster di sini:
*Karya oleh Peja.
Ngakunya warga Liverpool yang hobi melamun di Sefton Park.
+ Poster bikin aja, kalau bisa.
– Poster apaan tuh?
+ Aku baru ada kata-katanya doank:
Agama adalah Candu, Ormas Agama adalah Pecandu (Tambang)!
terserah gambarnya kayak apa.
*103 menit kemudian jadilah poster ini*
Begitulah proses bagaimana poster ini dibuat.
Sampul ini dibuat oleh: BajahitamJRX
Jadi gini, Max Stirner yang sering kalian lihat meme-nya seliweran di internet itu pertama kali menerbitkan karyanya di Jerman tahun 1844, lalu tahun 1907 dialih-bahasakan untuk pertama kalinya ke dalam bahasa Inggris oleh Steven T. Byington dengan judul The Ego and His Own . Sejak itu sampai sekarang, setiap edisi dari buku Stirner ini merupkan reproduksi atau revisi dari terjemahannya Byington. dan bukan suatu kebetulan, ada seorang individu yang sedang baik-baiknya, berusaha untuk menerjemahkan buku Stirner ini ke dalam bahasa indonesia untuk dipublikasikan kepada kalian semua yang suka membaca-bacaan. gausah banyak cingcong, Silakan langsung disedot:
Max Stirner – Yang Unik dan Miliknya-Jurnal Bodat (2024)
*) Ini merupakan perbaikan dari terjemahan sebelumnya yang (karena alasan tertentu) pernah kami publikasikan secara serampangan tanpa melalui proses penyuntingan. wkwk! semoga kalian bisa menikmati membaca yang satu ini, yhaa!
_
[ Redaksi Bodat ]
MAX STIRNER, ANARKIS INDIVIDUALIS DAN PANDANGAN KRITIS PADA KOMUNISME EGOIS
“saya tidak membutuhkan filosofi kawanan untuk menipu diri sendiri dan fantasi komunisasi yang rela berkorban. Saya menentang kultus konformis kolektivis pekerja, yang meniadakan individu ke dalam peran permanen sebagai produsen dan konsumen. Ketika saya bekerja, saya melakukannya karena saya dipaksa dan diperas. Jadi saya menolak peran budak sebagai “pekerja”. saya ingin melihat penghapusan kerja sebagai sebuah konsep. Saya ingin melihat alat produksi dan distribusi direduksi menjadi abu, diledakkan, dibuang, dihancurkan, dan diganti dengan hutan pangan yang luas dan taman warna-warni yang tumbuh subur di atas puing-puing.”
________________
Komunisme egois adalah kontradiksi. Komunis egois ingin menghancurkan semua institusi kapitalisme dan menggantinya dengan yang komunis. Komune-komune inilah tempat keputusan besar masyarakat akan dibuat, apakah anda setuju atau tidak. Di sinilah tirani mayoritas atau ahli akan berlaku. Di sinilah anda akan diasingkan oleh hantu ciptaan anda sendiri. Komune-komune ini akan menjadi pembentukan aparatur negara baru. Ini akan menjadi instrumen yang digunakan untuk memutuskan langkah yang akan diambil, apa yang baik untuk saya, apa yang baik untuk minat saya.
Tetapi komunis egois berteriak bahwa masyarakat mereka akan sepenuhnya “sukarela”. Tapi itu akan menjadi kepatuhan sukarela. Kepatuhan pada komune, kepatuhan pada mayoritas, pada ahli dan pengelola. Jika tidak ada kepatuhan, akan selalu ada pembersihan. Saya yakin akan ada pasukan polisi komunis yang egois untuk menghadapi ancaman kontra-revolusioner yang tidak patuh
Klik untuk Mengunduh —-> Bagaimana Cara untuk Mati
Sebuah esai yang ditulis oleh seorang manusia berinisial “F”. Silahkan unduh dan bagikan kepada siapapun yang mungkin tertarik untuk membacanya.
Seringkali para aktivis kekirian mununjukkan identitas serta membanggakan ideologinya dengan sikap yang kritis terhadap birokrasi saat ini. Semakin hari semakin terlihat jelas kebodohan para kaum kiri yang menyuarakan demokrasi di dalam sebuah negeri demokrasi yang terbalik. Sebuah ideologi yang menganut kediktatoran of proletariat dengan masyarakat determinis yang menjadi minoritas sedang memimpikan demokrasi. Terlihat jelas bagaimana kebodohan mereka ditunjukkan; keadilan tidak akan pernah dapat diwujudkan pada sebuah sistem bernegara. Mari kita kaji kembali bagaimana kekejaman yang sering dilakukan oleh pemerintahan melalui histori masa lalu maupun masa kini.
Indonesia telah menorehkan sejarah kelam atas kemanusiaan pada tragedi genosida di tahun 65 ketika rezim Orla digulingkan oleh Soeharto, dan pada masa Orba banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi. Kali ini saya akan mengatakan sekali lagi dengan keras bahwa apapun yang mereka tunjukkan terhadap kalian semua hanyalah kompetisi tentang siapa yang lebih unggul dan dapat menguasai.
Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki sejarah kelam atas pelanggaran kemanusiaan. Blok Barat memenangkan kompetisi dalam negeri ini, seperti halnya Kamboja yang dikendalikan oleh kaum kiri dan mereka pun memiliki sejarah bagaimana pembantaian terjadi pada rezim Khmer Merah. Omong kosong tentang prinsip dan sebuah nilai ideal; kasus perampasan lahan secara paksa saat ini pun sering terjadi, ruang hidup masyarakat yang memposisikan diri di bawah hirarki selalu menjadi bahan utama dalam penindasan; mari bersikap angkuh tentang semua omong kosong perwakilan manapun, dan tertawakan setiap orasi, sumpah, janji, aturan, hukum, dan semua kebohongan yang mereka utarakan.
Saatnya kita jadikan tontonan pertarungan para imperator dengan kaisar yang saling berebut panggung. Dengan cara ini kita dapat sedikit melenggangkan tentang siapa yang akan mendominasi. Siapkan beberapa batu serta botol kaca, kita buat pertunjukan lebih menarik di dalam koloseum.
Ditulis oleh Persetansemua.
[ Download link zine tentang ‘Sejarah Polisi’ dari teks CrimethInc. ]
Jadi begini, web favorit pegiat anarko-anarkoan pun penge- fans insureksi-insureksian aka CrimethInc. , pernah menerbitkan teks mengenai sejarah polisi lewat dua mode (patroli budak & kontrol pekerja sipil). Kebetulan, ada seorang individu yang sedang baik-baiknya, berusaha menerjemahkan itu untuk dibagi gratis kepada kalian semua yang suka baca-bacaan. Wes ya, nggak usah banyak cingcong, langsung aja serupuuuttt atas download link .
_
[ Redaksi Bodat ]
Hidup menjadi jauh lebih buruk dan tidak membahagiakan saat ini. di tengah dunia yang sedang dilanda wabah corona, semuanya menjadi terasa melelahkan, membosankan, dan juga membuat stress. ini aneh. siapa yang tak merasakannya? aku bahkan merasa bosan berada di rumah karena isolasi, padahal aku sudah melakukan itu sebelum kondisi mengharuskan semua orang melakukan isolasi dan tampaknya itu membuatku merasa segalanya menjadi jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan ketika aku melakukannya atas kemauan sendiri. mungkin kalian juga merasakan hal yang sama sepertiku.
jika segalanya terasa lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya karena kita sedang berada di penghujung peradaban, sepertinya kita harus berhenti menganggap bahwa 2020 adalah tahun yang buruk dan berhenti berpikir seolah-olah hal-hal buruk hanya terjadi tergantung pada tanggal dan perhitungan tahun di kalender. percayalah bahwa 2021, 2022, 2023, …., dst, tidak akan menjadi lebih baik, setiap hari akan terus memburuk dan semakin memburuk. badai pasti berlalu pun dengan segala hal buruk, tentu saja, tapi ketika satu hal buruk berlalu, hal buruk lainnya sudah menunggu di depan sana. mari berikan ucapan selamat datang dan berikan perayaan untuknya.
Kita semua sama-sama tahu bahwa saat ini hidup sedang berantakan dan menyebalkan, meski demikian, bukan berarti aku mengatakan bahwa kehidupan sebelum wabah datang itu menyenangkan, tapi mungkin apa yang akan terjadi pada beberapa dekade selanjutnya akan membuat hari ini dan sebelumnya terlihat seperti kenangan indah. adanya wabah ini paling tidak memberikan kita kesadaran hingga kita tahu betapa mudahnya kehidupan ini berhenti dan seberapa cepat semuanya bisa berubah. pelajaran penting dari wabah ini: kehidupan yang kita kenal sekarang telah berakhir. tidak, aku tidak mengatakan bahwa isolasi akan terjadi selamanya. Tapi wabah ini tidak akan hilang dalam waktu dekat. Oleh karena itulah, dalam kurun waktu yang entah sampai kapan, kita akan hidup berdampingan bersama virus dan tentu saja ini akan merampas kehidupan kita dan menyebabkan gelombang depresi yang besar, melebihi yang pernah ada pada tahun 1930. jika sebelumnya dunia membentuk sebagian dari generasi kita menjadi generasi konsumtif yang sama murahannya dengan produk yang dibeli, saat ini dunia menjadikan kita generasi depresif karena sebagian besar umat manusia tidak memiliki tempat tinggal, tidak mampu untuk bertahan hidup, dan kebingungan untuk mencari nafkah karena sulitnya mencari pekerjaan dan juga upah yang semakin menurun, dst. mungkin kalian yang memiliki sejumlah tabungan mampu untuk bertahan tanpa harus dipusingkan dengan pilihan mengenai hal paling mendasar dalam hidup karena kalian mempunyai banyak akal untuk tetap memenuhi kebutuhan dasar kalian tanpa harus memilih sehingga kalian akan mampu melewati itu, masalahnya adalah ketika kalian menghabiskan pendapatan dan tabungan untuk memenuhi kebutuhan dasar, lama-kelamaan uang kalian akan habis karena kalian terlalu banyak mengeluarkan uang untuk mempertahankan kebiasaan kalian. pada titik inilah sepertinya kalian memang harus khawatir dengan apa yang akan terjadi beberapa puluh tahun ke depan.
dunia sedang merangkak maju menuju akhir peradaban dan wabah ini, mungkin, hanyalah awal dari segala hal lain yang lebih spektakuler, atau dengan kata lain, wabah adalah satu dari sekian banyak gambaran, peringatan, dan juga potret mengenai masa depan kehidupan kita yang suram. maka cukup mudah untuk membayangkan hal apa saja yang akan terjadi pada tiga atau empat dekade terhitung sejak wabah ini bergulir. perubahan iklim, kerusakan ekologi, depresi ekonomi, krisis keuangan, pergolakan politik, dan gelombang baru untuk wabah penyakit sudah menunggu di depan sana. perubahan iklim akan meningkatkan tingkat kepunahan ikan karena bumi mengalami ketidakstabilan suhu dan musim mengakibatkan air yang ditinggali ikan menjadi terlalu hangat sehingga ikan tidak bisa berkembang biak. disusul dengan kerusakan ekologi yang diawali dengan putusnya rantai kehidupan dan matinya hewan-hewan seperti cacing, serangga, lebah, dan seterusnya yang memiliki peran penting dalam berjalannya kehidupan di planet ini. Sungai-sungai berubah menjadi lumpur karena ikan yang biasa membersihkan sungai, telah mati. tidak ada lagi yang akan memberi makan tanaman dan menjaga kesehatan hutan karena serangga pun telah pergi—mati. inilah saat di mana ekosistem di bumi mengalami penurunan yang tidak dapat diubah dan akan menyebabkan bencana bagi kita.
pew, di titik ini kehidupan di bumi perlahan mulai mati.
bumi akan dilanda kekeringan, sungai tak lagi bersih, ini akan menjadi periode dimana air bersih menjadi sesuatu yang mewah. tanah berubah menjadi debu dan sulit untuk ditanami, tidak ada lagi panen, bahan mentah tidak lagi bisa diakses. tidak ada lagi makanan yang mudah didapatkan. pun dengan langkanya obat-obatan yang berbahan dasar senyawa, dan seterusnya. kita akan bersaing sengit hanya untuk mendapatkan makanan, yang tak mampu bersaing akan mati kelaparan. kematian massal menjadi penanda lenyapnya sebagian manusia bersamaan dengan peradaban saat ini tapi tidak menutup kemungkinan akan ada sebuah peradaban baru yang tentu saja akan berbeda dengan peradaban kita karena kehidupan manusia bisa saja berakhir tapi bukan berarti itu akhir dari proyeksi individu. siapa yang tahu? yang pasti adalah bahwa kehancuran telah ada di depan mata kita, wabah corona memberikan kita peringatan dan ia mengajari kita untuk bisa melihat akhir dunia dari sini. kita bisa melihat cahaya peradaban meredup kemudian padam. semua hilang dan yang tersisa hanyalah perjuangan yang putus asa dari manusia untuk mempertahankan hidupnya. saling ‘memakan’ satu sama lain hingga semua berubah menjadi debu, api, dan kematian. maka jika saat itu ada hukum universal yang berlaku di bumi, itu adalah kenyataan yang kuat memakan yang lemah. begitulah akhir dari peradaban manusia saat ini. biarkanlah semuanya hancur tapi kita harus pastikan bahwa kita akan menari diatasnya dan merayakan kehancurannya.
Ocehan mengenai akhir dari dunia ini tak lebih dari sekadar omong kosong. kita tetap tidak akan pernah mengetahui dengan pasti kapan dunia ini benar-benar berakhir, tapi setiap tindakan yang manusia ambil adalah suatu kemungkinan yang bisa mengantarkan manusia menuju kepunahannya. hidup di akhir-akhir peradaban memang menyebalkan. bukan hanya karena hidup ini melelahkan, membosankan, dan suram. tapi karena kita tahu bahwa seharusnya kita bisa terhindar dari ini jika saja kita tidak melakukan sdlfj&@**#(@skdkj tapi sudahlah mungkin memang harus selalu seperti ini, kita harus selalu gagal agar kita bisa tetap mewariskan kegagalan kepada generasi setelah kita. seperti yang dilakukan oleh generasi sebelum kita kepada generasi kita.
Ditulis oleh: Vlen
Tulisan ini juga sedikit merangkum beberapa informasi dari tulisan di Medium yang berjudul If Life Feels Bleak, It’s Because Our Civilization is Beginning to Collapse
Ini adalah esai yang ditulis oleh Saul Newman.
Salah satu pertanyaan sentral untuk aplikasi sosial teori psikoanalitik adalah apakah ia dapat mempromosikan perubahan sosial dan politik yang signifikan, dan sejauh mana itu dapat memberikan landasan teoritis untuk kritik radikal terhadap praktik, wacana, dan lembaga politik yang ada. Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengeksplorasi kontribusi teori psikoanalitik Lacanian untuk politik radikal—khususnya, anarkisme. Ini mungkin tampak latihan yang mustahil di awal.
Jacques Lacan adalah seorang psikoanalis, bukan ahli teori politik—masih kurang seorang aktivis politik. Dia sangat curiga terhadap politik radikal kaum Kiri; menunjuk pada hubungan yang ambigu antara pelanggaran dan otoritas revolusioner. Namun, tujuan di sini bukanlah untuk menyarankan bahwa Lacan adalah seorang anarkis,atau pemikirannya membelok ke arah itu. Ini adalah untuk memeriksa implikasi dan relevansi ide-ide Lacanian—khususnya, teorinya tentang empat wacana, meskipun tampaknya kesulitan aplikasi ini; ada sejumlah titik konvergensi yang dapat dikembangkan di sini. Konsep Lacanian tertentu, ketika diterapkan pada wacana politik dan sosial, memungkinkan seseorang untuk mengeksplorasi sejumlah dimensi yang termasuk: hubungan struktural dan diskursif antara otoritas dan perlawanan, perangkap fantasi utopis, dan kontingensi dan ketidakpastian dari bidang politik.
Runtuhnya sistem Komunis hampir dua dekade lalu menyebabkan kekecewaan mendalam di Barat, tidak hanya dengan proyek Komunis—yang telah dalam keadaan krisis selama beberapa waktu—tetapi dengan politik sayap kiri radikal umumnya. Hegemoni berikutnya dari neo-liberal, dan kemudian Third Way, ideologi, ditambah dengan kondisi fragmentasi budaya “postmodern” dan relativisme epistemologis, tampaknya mengkonfigurasi rujukan politik dominan untuk sistem kapitalis global yang juga mulai terlihat, seperti dikatakan Slavoj Zizek, sebagai “satu-satunya permainan di kota”. Namun dalam beberapa tahun terakhir telah ada sejumlah upaya untuk mengembuskan kehidupan baru ke dalam teori politik radikal. Memanfaatkan dan mengembangkan wawasan dari poststrukturalisme, dekonstruksi, dan khususnya, Psikoanalisis Lacanian, pemikir seperti Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, dan Zizek telah dalam berbagai cara, berusaha untuk menghidupkan kembali proyek politik emansipatif, mengekstraksi itu dari bawah bangunan runtuh Marxisme. Secara luas, disebut pendekatan “pos-Marxis” atau analisis wacana melibatkan revisi radikal Marxisme, menolak ekonomi dan esensialisme kelas yang didirikannya; bukan menegaskan keutamaan dan otonomi dari dimensi politik di luar determinisme kelas dan dialektika.
Justru penekanan pada keunggulan dan otonomi politik inilah yang juga mencirikan anarkisme; yang membedakannya dari Marxisme. Anarkisme menawarkan alternatif radikal untuk Marxisme dengan menekankan pentingnya dan otonomi ranah politik—khususnya kekuatan dan otoritas spesifik lembaga negara—daripada merangkumnya, seperti yang dilakukan oleh Marxisme klasik, ke dalam analisis ekonomi dan hubungan kelas. Karenanya, Marxisme menawarkan alat teoretis baru untuk analisis kekuatan politik, di luar reduksi ekonomi dan kelas Marxisme. Kontribusi anarkisme terhadap politik radikal dan kedekatan teoretisnya dengan proyek-proyek paska-Marxis saat ini telah terjadi keheningan yang aneh tentang tradisi revolusioner ini di pihak para ahli teori kontemporer. Dalam hal ini, anarkisme selalu mengintai dalam bayang-bayang kaum radikal Kiri dan mungkin dapat dipandang sebagai semacam suplemen berbahaya dan berlebihan bagi Marxisme. Mei ’68 misalnya, di dalam tantangan fundamentalnya, tidak hanya pada lembaga-lembaga politik dan sosial yang dominan, tetapi juga pada konservatisme, stagnasi, dan otoritarianisme Partai Komunis; mungkin mewakili “pemulihan” momen anarkis di Eropa Barat, dan orang dapat berargumen bahwa strategi teoretis kontemporer seperti poststrukturalisme dan pos-Marxisme sampai batas tertentu diilhami oleh kritik anarkis terhadap Marxisme.
Pencapaian teoretis utama dari anarkisme adalah tepatnya untuk membuka kedok dimensi kekuasaan dan otoritas politik yang spesifik dan otonom, dan bahaya penegasan kembali mereka dalam sebuah revolusi jika diabaikan. Dengan kata lain, kekuasaan dan otoritas sekarang dipandang sebagai fenomena yang tidak bisa lagi direduksi menjadi artikulasi kelas yang berbeda. Sebelumnya, mereka harus dipahami dalam hal posisi atau tempat yang abstrak dalam sosial, memiliki imperatif struktural mereka sendiri—yaitu pengabdian diri; yang dipakai sendiri dalam berbagai kedok yang berbeda, termasuk revolusi pekerja Marxis itu sendiri. Di sana, tempat kekuasaan dan otoritas tidak dapat dengan mudah diatasi dan selalu dalam bahaya ditegaskan kembali kecuali ditangani secara khusus. Karenanya, Marxisme mengungkapkan keterbatasan teori Marxis dalam berurusan dengan masalah kekuasaan dan dibutakan oleh determinisme ekonominya. Marxisme gagal melihat kekuasaan dan otoritas sebagai fenomena yang ada, tidak dapat direduksi ke faktor-faktor ekonomi, yang membutuhkan bentuk analisis spesifik mereka sendiri. Selain itu, anarkisme menunjuk ke situs otoritas dan dominasi lain yang diabaikan dalam teori Marxis; misalnya Gereja, keluarga, dan struktur patriarki, hukum, teknologi, serta struktur dan hierarki partai revolusioner itu sendiri.
Selain itu, dengan bersikeras, melihat kekuasaan dan otoritas memiliki logika mereka sendiri, anarkisme juga memungkinkan untuk berteori—dalam politik radikal—dari domain perjuangan dan antagonisme baru. Perjuangan politik saat ini tidak lagi dapat didefinisikan hanya berdasarkan kategori kelas ekonomi, tetapi semakin ditandai oleh resistensi terhadap berbagai bentuk kekuasaan dan otoritas-regulasi negara, rasisme, pengawasan tempat kerja, sentralisasi birokrasi, dan dominasi kehidupan sehari-hari. Artinya, mereka adalah perjuangan anti-otoriter yang tidak lagi dapat didefinisikan dalam hal perjuangan kelas Marxis.
Perjuangan melawan otoritas politik ini dilihat oleh kaum anarkis sebagai perjuangan fundamental kemanusiaan itu sendiri. Bagi kaum anarkis, semua bentuk otoritas politik bersifat tidak manusiawi dan meniadakan kebebasan. Otoritas adalah gangguan brutal dan tidak perlu, tidak hanya pada kebebasan subjek, tetapi juga pada tatanan ontologis yang menjadi dasar kebebasan ini. Kebebasan didirikan, menurut anarkisme, pada tatanan sosial yang berfungsi secara alami yang secara inheren rasional dan bermoral. Karena itu masyarakat tidak memerlukan otoritas politik—ini hanya menghambat perkembangan kebebasan manusia. Begitu otoritas politik dihapuskan, menurut kaum anarkis, kebebasan manusia akhirnya akan berkembang.
Kemungkinan kebebasan manusia didasarkan pada serangkaian hubungan rasional dan etis yang secara alami terjadi dalam masyarakat. Peter Kropotkin berpendapat bahwa ada kemampuan bersosialisasi alami antara hewan dan manusia, di mana tindakan bebas dan etis dapat didirikan. Bertolak belakang dengan apa yang dilihatnya sebagai pendekatan pseudo-Darwinis, Kropotkin berpendapat bahwa kerja sama dan saling membantu di antara hewan lebih umum dan naluriah daripada kompetisi dan agresi. Menerapkan temuan-temuan ini kepada masyarakat manusia, ia berpendapat bahwa alam dan esensial prinsip masyarakat manusia adalah gotong-royong. Ini adalah prinsip organik yang mengatur masyarakat, dan dari sinilah tumbuh gagasan moralitas, keadilan, dan etika.
Tentu saja ini sangat kontras dengan gagasan Freud tentang naluri manusia sebagai agresif dan destruktif secara alami. Dalam “Civilization and dan Its Discontents”, Freud mengklaim bahwa manusia dikarakterisasi bukan oleh rasionalitas atau kemampuan bersosialisasi yang melekat, tetapi oleh dorongan libidinous yang mendasar terhadap agresi. Oleh karena itu, struktur eksternal peradaban memaksakan pemeriksaan yang sangat diperlukan terhadap naluri-naluri ini, terlepas dari akibat yang ditimbulkan dari kesalahan superego dalam diri individu. Hanya melalui intervensi semacam orde simbolis eksternal atau artistik buatan suatu tingkat kohesi dapat dicapai. Dengan kata lain, kohesi bukanlah hasil alami masyarakat, seperti pendapat kaum anarkis, melainkan intervensi buatan yang memaksa pemisahan radikal antara individu dan keadaan alaminya, membawa keduanya ke dalam oposisi.
Ini menyoroti pertentangan utama antara anarkis klasik dan akun psikoanalitik tentang kemunculan subjek dari masyarakat. Bagi kaum anarkis, subjek muncul dari masyarakat secara harmonis, menurut “hukum alam”, dan tidak ada konflik esensial antara subjek dan masyarakat, kecuali ketika otoritas politik campur tangan. Di sini, Bakunin bersikeras pada pembagian konseptual yang ketat antara dua tatanan ontologis; yang satu “alami”, yang lain “buatan”. Yang pertama adalah tatanan hubungan sosial organik yang diatur oleh “hukum alam”, yang bangun kemanusiaan esensial dari subjek . Sehubungan dengan ini adalah tatanan artifisial; ranah institusi, hukum, dan otoritas politik; yang prinsip pemerintahannya adalah “hukum buatan”; yang secara inheren tidak bermoral, tidak rasional, dan menindas. Kontras dengan otoritas alam, otoritas buatan; suatu pemaksaan eksternal pada subjek; sesuatu yang menghambat perkembangan kemanusiaannya; melemahkan kemampuan rasional dan moral bawaannya.
Karena itu, anarkisme adalah filsafat politik radikal yang berbasis pencerahan; yang intinya adalah hubungan dialektis antara kebebasan dan otoritas. Seperti yang telah saya tunjukkan, kemungkinan kebebasan manusia dalam teori anarkis memiliki dasar dalam harmoni rasional esensial yang telah terganggu oleh operasi otoritas politik “artifisial”. Namun, keharmonisan ini berlawanan dengan kebenaran obyektif hubungan sosial; kebenaran yang terbengkalai; menunggu untuk ditemukan kembali. Itulah sebabnya rahasia kebebasan subjek, dalam teori anarkis, terletak pada pengungkapan makna dari esensi sosial ini, dari menemukan kembali hukum-hukumnya dan mengembalikan keharmonisan dan transparansi ke hubungan-hubungan sosial. Di sana, perjuangan subjek untuk kebebasan ditentukan oleh keterbukaan kebenaran rasional yang rasional ini dan mengatasi keterbatasan eksternal dari kekuasaan dan otoritas politik. Setelah otoritas politik terpusat dihancurkan, hubungan sosial akan menjadi transparan. Karenanya, Bakunin mengimani positivistik pada kemampuan sains untuk memahami cara kerja masyarakat yang mendasar dan keyakinannya bahwa revolusi anarkis akan menjadi revolusi ilmiah. Jadi, revolusi anarkis akan melibatkan perusakan otoritas, tetapi dalam perusakan ini, ada pada saat yang sama, pemulihan tatanan sosial yang rasional. Dengan kata lain, pelanggaran otoritas anarkis tidak dapat dipisahkan dari “pemulihan” ke kepenuhan sosial yang hilang.
Beberapa perbedaan antara politik revolusioner utopis anarkisme klasik dan implikasi yang agak konservatif dari teori psikoanalitik telah disinggung. Memang, Freud agak skeptis tentang klaim utopis tentang politik revolusioner, seperti yang kita lihat kurang dari pandangan optimis tentang sifat manusia. Skeptisisme tentang politik radikal ini juga dimiliki oleh Lacan, dan paling terkenal ditunjukkan dalam pidatonya kepada mahasiswa di pemberontakan Mei 1968 di Paris: “Aspirasi revolusioner hanya memiliki satu kemungkinan: selalu berakhir dalam wacana sang master. Pengalaman telah membuktikan hal ini. Apa yang Anda cita-citakan sebagai revolusioner adalah seorang master. Anda akan memilikinya!” (dikutip dalam Stavrakakis). Apa sebenarnya maksudnya?
Walaupun pernyataan ini tampak tidak ambigu, ada dua implikasi yang dapat ditarik darinya sehubungan dengan pentingnya teori psikoanalitik untuk politik radikal. Implikasi pertama adalah pemberhentian langsung yang sederhana dari segala bentuk aktivitas politik radikal—serahkan histeris Anda pada aspirasi revolusioner, karena pada akhirnya akan berakhir dalam bentuk-bentuk baru dominasi. Ini tampaknya akan menyelaraskan Lacan dengan sikap apolitik konservatif dan memberikan saran bahwa ada sesuatu dalam teori Lacanian yang menarik bagi politik radikal. Namun, ada kemungkinan untuk menarik implikasi lain di sini; implikasi yang secara paradoksal menyelaraskan Lacan dengan posisi anarkis.
Seseorang mungkin berpendapat bahwa pernyataan ini dapat dianggap sebagai peringatan bagi politik radikal tentang bahaya menegaskan kembali struktur kekuasaan dan otoritas sebagai konsekuensi dari revolusi. Bukankah ini peringatan yang tidak persis sama yang diberikan kaum anarkis kepada kaum Marxis mengenai masalah negara dan politik? Dalam pengertian ini, maka, baik posisi anarkis dan Lacanian menunjuk ke tempat kekuasaan; yaitu bahaya kekuasaan dan otoritas direproduksi dalam upaya seseorang untuk mengatasinya. Kedua perspektif membahas—dengan kata lain—posisi revolusioner vis-à-vis tempat dominasi yang ia lawan—revolusioner harus menghadapi implikasi otoriter tersembunyi yang tidak diakui dari usahanya sendiri. Dengan kata lain, revolusioner diminta: apakah otoritas yang Anda lawan belum siap imanen dalam diri Anda, posisi sebagai revolusioner dan akankah revolusi Anda tidak mengarah pada pengabadian otoritas ini? Jadi pertanyaan yang harus diatasi di sini adalah: bagaimana politik radikal dapat dikonfigurasi ulang sedemikian rupa sehingga dapat menghindari penegasan kembali kekuasaan dan otoritas? Pertanyaan anarkis, sampai taraf tertentu juga merupakan pertanyaan Lacanian.
Akan tetapi, sebagian dari konfigurasi ulang politik radikal melalui teori Lacanian akan melibatkan kritik terhadap struktur konseptual anarkisme itu sendiri. Karena anarkisme, seperti Marxisme, adalah wacana revolusi, maka ia harus diserahkan kepada kritik Lacanian tentang posisi revolusioner. Dengan kata lain, apakah anarkisme itu sendiri menegaskan kembali otoritas yang dilanggar? Dalam upaya untuk mengatasi posisi tuan, akankah ia memasang seorang tuan baru sebagai gantinya? Artinya, apakah anarkisme juga terperangkap dalam wacana otoriter “tuan”—wacana yang seolah-olah ingin dihapuskan? Tampaknya dari perspektif Lacanian, ada hubungan struktural antara posisi kaum revolusioner dan posisi sang guru—yang menyiratkan yang lain. Hubungan tersembunyi antara keinginan revolusioner dan dominasi yang diperebutkannya, antara pelanggaran dan otoritas, itulah masalah sentral politik revolusioner. Teori-teori seperti anarkisme harus diungkap dan dieksplorasi jika politik radikal ingin menghindari kelanggengan kekuasaan.
Memang, dalam hubungan paradoksal antara tuan dan budak, ada tercermin masalah sentral dalam anarkisme; hubungan ambigu dan tersembunyi antara revolusioner keinginan dan otoritas. Dalam dialektika Hegel, “keinginan”, yang benar-benar keinginan diri, hanya diwujudkan melalui keinginan orang lain. Dengan kata lain, apa yang diinginkan adalah pengakuan oleh orang lain dari keinginannya sendiri. Oleh karena itu, pengakuan melibatkan negasi dari pengakuan diri orang lain—karena hanya ada ruang untuk satu—sehingga memicu hubungan dominasi antara orang yang mengakui dan menginginkan yang lain (budak) dan orang yang diakui dan diinginkan (karena pengakuan diri didasarkan pada pengakuan oleh yang lain; identitas master yang diakui tergantung pada id entitas budak—orang yang mengakui). Ini memperkenalkan ke dalam hubungan ambiguitas paradoks dan potensi pembalikkan posisi. Kita dapat melihat kerawanan ini dalam semua hubungan dominasi politik dan sosial; otoritas tuan selalu bergantung pada pengakuan otoritas ini oleh budak belian—tanpa ini akan runtuh. Oposisi ini hanya didamaikan, menurut Hegel, di negara universal dan homogen—di mana baik tuan dan budak mengenali diri mereka satu sama lain.
Namun seperti yang dikemukakan Borch-Jacobsen, justru rekonsiliasi inilah yang ditolak oleh Lacan, yang menunjukkan bahwa bahkan di negara universal ini, masih akan ada perpecahan yang ditimbulkan oleh persaingan antara benci—iri satu sama lain, misalnya, antara ilmuwan dan non-ilmuwan. Ilmuwan, terutama, atas status pengetahuan. Ini persis kontradiksi yang sama yang menunjuk anarkis dalam konsep Negara Pekerja Marxis; yang seharusnya menjadi lembaga di mana pembagian kelas akan direkonsiliasi. Sebaliknya, Bakunin meramalkan bahwa perpecahan kelas baru akan muncul; yaitu antara kelas birokrasi—antara ilmuwan dan pakar, dan penduduk lainnya. Namun, ada perbedaan penting di sini: apa yang ditolak oleh kaum anarkis adalah gagasan bahwa rekonsiliasi dialektis dapat dicapai melalui negara, sementara Lacan menolak gagasan rekonsiliasi dialektis sama sekali.
Bagi Lacan, pengakuan diri yang merupakan jantung dari dialektika Hegel sebenarnya didasarkan pada kesalahan pengenalan mendasar atau méconnaissance. Artinya, seseorang hanya menjadi sadar diri melalui salah memahami keinginan orang lain, daripada mengenali diri sendiri di dalamnya. Dengan kata lain, keinginan seseorang tidak pernah keinginan untuk diri sendiri—atau tidak pernah keinginan untuk dicerminkan dalam keinginan orang lain—tetapi, itu adalah keinginan untuk sesuatu yang lain, sesuatu di luar ini. Itulah sebabnya keinginan selalu dihadapkan dengan jurang maut, kekosongan pamungkas, yang hanya bisa diatasi dalam kematian. Namun, alih-alih dihadapkan dengan ketidakmungkinan keinginan seseorang, seseorang mengobjektifkannya; yaitu seseorang menciptakan hambatan eksternal terhadapnya yang berfungsi sebagai alasan untuk tidak ada. Dengan demikian, budak menciptakan tuan di tempat keinginannya sendiri yang tidak mungkin, sebagai larangan eksternal terhadap hal itu.
Dengan demikian, budak dapat secara efektif berkata pada dirinya sendiri:
Saya dapat mewujudkan keinginan saya jika saja tidak. Untuk tuan yang menghalanginya. Apa yang benar-benar disamarkan ini adalah kebuntuan internal dari keinginan itu sendiri—memungkinkan budak untuk berfungsi jika kebuntuan ini tidak ada, justru dengan menyalahkannya pada penghalang eksternal. Dalam hal ini, cara tuan datang untuk mewakili jouissance mustahil sendiri; the theft—dari kenikmatan budak, yang merupakan kepuasan yang tidak pernah dia miliki di tempat pertama. Neurotik obsesif adalah contoh yang baik dari ini. Menurut Lacan, obsesif terlibat dalam penundaan terus-menerus atau menunda keinginannya, menunggu kematian tuannya, sehingga menempatkan tuannya menggantikan ketidakmungkinan keinginannya. Namun dengan melakukan itu, ia membatasi diri pada keberadaan yang tidak wajar—semacam kematian yang hidup.
Sekarang, bagaimana jika kasus dialektika revolusioner anarkisme berfungsi dengan cara yang persis sama? Pusat bagi anarkisme, seperti yang telah saya tunjukkan, adalah dialektika di mana subjek berusaha mengenali dirinya dan kemanusiaannya sendiri melalui mengatasi hambatan eksternal seperti negara. Oleh karena itu, negara dipandang sebagai penghalang eksternal untuk realisasi diri subjek secara progresif. Dengan demikian, realisasi ini selalu ditunda-tunda. Namun secara paradoks, justru negara,sebagai penghalang eksternal bagi identitas penuh dari subjek, yang pada saat yang sama, penting untuk pembentukan identitas yang tidak lengkap ini. Identitas subjek dicirikan sebagai dasarnya “rasional” dan “moral”—yaitu mampu mewujudkan perwujudan penuh kemanusiaan—hanya sejauh terungkapnya fakultas dan kualitas bawaan ini dicegah oleh negara. Dengan adanya otoritas politik, dengan kata lain, subjek tidak akan dapat melihat dirinya dalam hal ini. Identitas demikian lengkap dalam ketidaklengkapannya yang sangat. Keberadaan otoritas politik adalah sarana untuk membangun kepenuhan subjek yang tidak ada.
Jika kita melihat dialektika ini dalam istilah-istilah Lacanian, kita dapat menyarankan bahwa dalam wacana anarkisme, negara menduduki tempat master berhadap-hadapan dengan budak—dengan kata lain, negara berfungsi sebagai eksternalisasi dari kebuntuan internal dalam subjek; menutupi kekurangan yang tidak mungkin di jantung keinginan revolusioner itu sendiri. Dengan kata lain, apa yang negara sembunyikan adalah pelarangan eksternal; adalah kenyataan bahwa keinginan untuk realisasi diri dari subjek pada akhirnya mustahil; bahwa memang, tidak ada esensi manusia yang rasional dan moral yang telah ditekan oleh otoritas politik dan hanya menunggu untuk diungkapkan. Bahwa pada kenyataannya, di jantung subjektivitas manusia ada kekurangan atau kekosongan yang tidak mungkin diatasi. Dalam hal ini, dalam arti, negara dalam wacana anarkis melakukan fungsi yang diperlukan dalam menyamarkan kekurangan ini; beroperasi sebagai alasan agar konfrontasi dengan kekurangan ini dapat dihindari. Secara paradoks, kemudian, keberadaan politik otoritas memungkinkan keinginan revolusioner untuk dipertahankan: saya bisa mewujudkan kemanusiaan saya seandainya bukan karena negara yang menghalangi saya. Jadi, mungkin kita bisa mengatakan bahwa seperti halnya tuan adalah penemuan budak, demikian juga semua-menekankan, semua-mendominasi; negara adalah penemuan revolusioner—berfungsi sebagai cara untuk menunda pertemuan dengan kurangnya subjektivitasnya sendiri dan sangat tidak mungkin keinginannya. Ini tidak akan menyarankan bahwa negara hanyalah ilusi—lebih tepatnya bahwa, di sepanjang garis Foucauldian, negara berfungsi sebagai cara menyamarkan fakta bahwa kekuasaan telah menjajah subjek. Ini menghadirkan masalah mendasar bagi anarkisme: keinginan revolusionernya untuk mengatasi negara akan selalu digagalkan; karena memungkiri kebutuhan yang lebih mengganggu bagi negara untuk mempertahankan keinginannya dan menutupi ketidakmungkinannya sendiri. Bagi Lacan, maka, pelanggaran dan otoritas revolusioner terperangkap dalam kesulitan—di mana yang pertama bergantung pada yang kedua, dan ketika otoritas eksternal menghilang, sebuah larangan yang diinternalisasi muncul:
Beberapa waktu yang lalu saya mengamati bahwa untuk kalimat orang tua Karamazov, ‘Jika Tuhan mati, maka semuanya diizinkan’, kesimpulan yang memaksa diri kita sendiri dalam teks pengalaman kita adalah bahwa respons terhadap ‘Tuhan sudah mati’ adalah bahwa ‘Tidak ada yang diizinkan lagi’.
Diterjemahkan oleh: Fateh Fajar.
Anarkisme di Asia Timur
Selama dua dekade awal abad ke-20, anarkisme merupakan aliran pemikiran radikal paling penting di Asia Timur. Meski para anarkis Asia Timur tidak memberikan kontribusi orisinal yang berarti terhadap teori anarkis akan tetapi mereka berkontribusi memperkenalkan beberapa ide penting ke dalam politik dan budaya negara mereka, termasuk pendidikan universal, hak-hak kaum muda dan perempuan, dan tuntutan untuk menghapuskan semua pembagian kerja—Terutama antara pekerja balik meja dengan pekerja lapangan dan antara pekerja di sektor pertanian dengan industri. Mungkin kontribusi mereka yang paling signifikan dan bertahan lama adalah gagasan mengenai “revolusi sosial”—Pengertian “revolusi sosial” di sini adalah gagasan bahwa perubahan politik revolusioner tidak dapat terjadi tanpa perubahan radikal dalam masyarakat dan budaya, khususnya penghapusan institusi sosial yang secara inheren bersifat paksaan dan otoriter, seperti keluarga tradisional. Meskipun beberapa anarkis di Asia Timur mencoba untuk menciptakan revolusi melalui kekerasan, yang lain menolak kekerasan dan mendukung cara-cara damai, terutama melalui pendidikan. Namun demikian, mereka semua percaya bahwasannya politik ditentukan oleh masyarakat dan budaya, oleh karena itu masyarakat dan budaya harus menjadi fokus dari upaya revolusioner mereka.
Anarkisme di Jepang
Kotoku Shusu seorang penulis sekaligus aktivis Jepang adalah orang pertama di Asia Timur yang menyebut dirinya sendiri seorang anarkis. Pada tahun 1901, Kotoku, seorang pendukung awal sosialisme Jepang, ia membantu mendirikan Partai Sosial Demokrat, yang segera dilarang oleh pemerintah. Pada awal 1905, ia menerbitkan surat kabar Heimin shimbun (“Surat Kabar Rakyat”), yang mengecam Perang antara Rusia dan Jepang, surat kabar itu ditutup dan Kotoku dikurung. Saat di penjara, ia sangat terpengaruh oleh literatur anarkis—Terutama Fields, Factories and Workshops karangan Kropotkin—dan menerima anarkisme dengan sepenuh hati. Ketika di penjara ia menulis kepada temannya, “(aku) pergi [ke penjara] sebagai seorang Marxis-Sosialis dan kembali sebagai seorang anarkis radikal.” Setelah lima bulan di penjara, Kotoku melakukan perjalanan ke Amerika Serikat, dimana ia bekerja sama dengan anggota The Industrial Workers of the World (IWW), yang dikenal sebagai ‘Wobblies’. Pengalamannya di Amerika Serikat membuatnya meninggalkan politik parlementer demi strategi “aksi langsung” yang penuh kekerasan.
Setelah kembalinya ke Jepang pada Juni 1906, Kotoku mulai mengorganisir pekerja untuk kegiatan radikal. Dia juga berhasil meyakinkan Partai Sosialis Jepang yang baru didirikan untuk mengambil pandangannya tentang aksi langsung. Pada tahun 1910, Kotoku termasuk di antara ratusan orang yang ditangkap karena terlibat dalam konspirasi untuk membunuh Kaisar Meiji. Meskipun ia telah menarik diri dari konspirasi sebelum penangkapannya, Kotoku diadili karena pengkhianatan dan dieksekusi pada tahun 1911. Kematiannya menandai awal dari “periode musim dingin” untuk anarkisme di Jepang, yang berlangsung sampai akhir Perang Dunia I.
Anarkisme di China
Tak lama setelah 1900, sebagai bagian dari reformasi yang mengikuti kegagalan pemberontakan Boxer, Dinasti Qing mulai mengirim banyak pemuda Cina untuk belajar di luar negeri, terutama di Perancis, Jepang, dan Amerika Serikat. Di tempat-tempat ini dan di tempat lain, mahasiswa Tiongkok mendirikan organisasi nasionalis dan revolusioner yang berkomitmen untuk menggulingkan rezim kekaisaran. Dua yang paling penting dari kelompok ini—World Association, yang didirikan di Paris pada tahun 1906, dan the Society for the Study of Socialism, yang didirikan di Tokyo pada tahun 1907—yang secara gamblang mengadopsi program-program anarkis.
Antara tahun 1907 dan 1910, World Association menerbitkan sebuah majalah, The New Century, yang merupakan sumber informasi penting tentang teori anarkis dan gerakan anarkis Eropa dalam bahasa Cina. Mempromosikan anarkisme individualistis dan “futuristik”, majalah ini adalah salah satu publikasi berbahasa Cina pertama yang secara gamblang menyerang tradisi adat, terutama Konfusianisme. Di sisi lain, the Society for the Study of Socialism, lebih menyukai anarkisme anti-modern yang dipengaruhi oleh pasifis-radikal sekaligus novelis Rusia, Leo Tolstoy, yang menekankan kedekatan antara anarkisme dan arus filosofis Cina di masa lampau, terutama Taoisme. The Society for the Study of Socialism melalui publikasinya, Natural Justice and Balance, mendorong program-program Kropotkin untuk menggabungkan sektor pertanian dengan industri dan pekerja balik meja dengan lapangan, ide-ide yang nantinya akan memiliki dampak berkelanjutan pada radikalisme Cina.
Aktivitas anarkis yang signifikan di Cina sendiri baru dimulai setelah revolusi Cina (1911–12). Para anarkis Cina yang belajar di Paris (yang disebut “Paris Anarkis”) kembali ke Beijing dan segera terlibat dalam reformasi pendidikan dan kebudayaan. Yakin akan perlunya revolusi sosial, para anarkis Paris menganjurkan ilmu pengetahuan Barat yang menentang agama dan takhayul, menyerukan pembebasan perempuan dan pemuda, menolak keluarga tradisional dan nilai-nilai Konfusianisme yang menjadi dasarnya, dan secara eksperimental terorganisir komunitas studi kerja sebagai alternatif dari bentuk tradisional keluarga dan kehidupan kerja. Gagasan dan praktik ini sangat mempengaruhi gerakan Budaya Baru pada akhir 1910-an dan awal 1920-an. Dipimpin oleh generasi intelektual yang dikirim ke luar negeri untuk belajar, gerakan ini sangat kritis terhadap semua aspek budaya dan etika Tiongkok tradisional dan menyerukan reformasi menyeluruh di lembaga-lembaga sosial dan politik yang ada.
Kaum anarkis juga aktif di Cina Selatan. Di Guangzhou, sekolah adat anarkisme dibentuk di sekitar revolusioner karismatik Liu Shifu, yang lebih dikenal dengan nama adopsi Shifu. Pada tahun 1912, Shifu mendirikan Cock-Crow Society, yang majalahnya, People’s Voice, adalah organ utama anarkisme Cina pada tahun 1910. Meskipun bukan seorang pemikir yang orisinal, Shifu adalah ekspositor yang terampil dalam pengajaran anarkis. Pertukaran polemiknya dengan pemimpin sosialis Jiang Khangu membantu mempopulerkan anarkisme sebagai “sosialisme murni” dan membedakannya dari aliran lain dalam pemikiran sosialis.
Anarkisme di Vietnam dan Korea
Gagasan anarkis memasuki Vietnam melalui kegiatan pemimpin nasionalis Vietnam awal, Phan Boi Chau. Phan, yang berperang melawan pemerintahan kolonial Prancis dalam dua dekade pertama abad ke-20. Phan dikenalkan ke anarkisme oleh para intelektual Cina di Tokyo pada tahun 1905-1909. Meskipun Phan sendiri bukan seorang anarkis, pemikirannya mencerminkan nilai-nilai anarkis, terutama pemikirannya mengenai anti-imperialisme dan “aksi langsung”. Setelah Revolusi Tiongkok pada tahun 1911, Phan pindah ke Cina Selatan, bergabung dengan beberapa organisasi yang memeluk atau dipengaruhi oleh anarkisme, termasuk Worldwide League for Humanity. Dia juga menerima saran dan dukungan keuangan dari Shifu. Pada tahun 1912, dengan bantuan Shifu, ia mendirikan League of the Restoration of Vietnam dan League for the Prosperity of China and Asia, yang bertujuan untuk membangun hubungan antara gerakan revolusioner di Cina dan gerakan di negara-negara jajahan seperti Vietnam, Burma (Myanmar), India dan Korea.
Pada awal 1920-an, radikalis Korea mendirikan masyarakat anarkis di Tokyo dan berbagai lokasi di Cina. Seperti rekan-rekan mereka di Vietnam, mereka secara khusus tertarik pada anarkisme karena anti-imperialisme dan penekanan pada aksi langsung, yang membenarkan perlawanan keras terhadap pemerintah kolonial Jepang. Bagi para pemimpin seperti Shin Chae-Ho, anarkisme adalah alternatif demokratis yang menarik daripada komunisme Bolshevik, yang pada saat itu mengancam akan mengambil kendali atas gerakan radikal di Korea.
Kemerosotan anarkisme di Asia Timur
Pada awal 1920-an, anarkisme mengalami kemerosatan di sebagian besar Asia Timur yang tidak akan pulih. Setelah Revolusi Rusia 1917, kaum komunis Bolshevik di Jepang, Cina, Vietnam, dan Korea mendirikan masyarakat revolusioner mereka sendiri, yang pada akhirnya diubah menjadi partai-partai politik bawah tanah, dan mulai bertarung dengan kaum anarkis untuk mendapatkan pengaruh dalam gerakan buruh. Dihadapkan dengan kemampuan organisasi Bolshevik yang unggul dan dukungan finansial yang mereka terima dari Uni Soviet yang baru dibentuk, para anarkis hanya dapat melawan dengan ala kadarnya dan dengan cepat teratasi. Pada 1927, anarkis Cina mencurahkan sebagian besar energinya untuk pertempuran yang tidak akan mereka menangkan ini, kadang-kadang bersamaan dengan unsur-unsur reaksioner dalam Kuomintang (Partai Nasionalis) yang terstruktur dengan longgar. Di Jepang, aktivitas anarkis mengalami kebangkitan singkat pada pertengahan 1920-an di bawah Hatta Shuzo, yang merumuskan doktrin anarkisme “murni” yang bertentangan dengan pengaruh Marxis. Suatu periode konflik antara kaum anarkis yang murni dan anarkis yang berorientasi marxis berakhir pada awal 1930-an, ketika semua bentuk radikalisme dihancurkan oleh pemerintah militer.
Meskipun kaum anarkis di Cina secara politis tidak relevan setelah awal 1920-an, mereka terus bekerja pada revolusi sosial dalam pendidikan dan budaya. Penulis Ba Jin menulis novel dan cerita pendek dengan tema anarkis yang sangat populer di Cina pada 1930-an dan 1940-an, dan Ba dipilih sebagai organisasi sastra dan budaya utama setelah kemenangan komunis dalam Perang Sipil Tiongkok (1945-1949). Pada tahun 1927, sekelompok anarkis Paris membantu mendirikan Universitas Buruh yang berumur pendek di Shanghai, yang mempraktikkan ide-ide anarkis dalam menggabungkan kerja balik meja dengan kerja lapangan. Ide-ide ini bertahan lama setelah gerakan anarkis itu sendiri menghilang, mempengaruhi perdebatan mengenai kebijakan ekonomi dalam pemerintahan komunis pada dekade-dekade setelah 1949.
[Penerjemah: Blocknroll.]