Fumiko Kaneko: Perjuangan Nihilistik dan Kesepian

Belum lama ini, tayang sebuah film yang disutradarai oleh Lee Joon-Ik, film yang berjudul Anarchist from Colony tersebut sedikitnya berhasil menarik perhatian para penggemar film, terutama para anarkis. Film berdurasi 129 menit yang diangkat dari kisah nyata itu menceritakan perjuangan seorang anarkis bernama Park Yeol dan kawan-kawannya yang berasal dari Korea dan tinggal di Jepang, di masa di mana Korea berada di bawah kendali Jepang. Mereka bersama-sama merencanakan sebuah misi rahasia, tak lain, menerror kekaisan Jepang.

Film tersebut juga dibungkus dengan kisah romansa antara Park dan seorang nihilis asal Jepang yang bernama Fumiko Kaneko. Ketika kekacauan pecah pasca gempa bumi Kantō pada 1 September 1923, terjadi berbagai kasus pembantaian terhadap orang-orang Korea, dan mereka yang dianggap sebagai pemberontak ditangkap secara acak. Satu hari setelah gempa bumi hebat tersebut, Park dan kawan-kawannya ditangkap dan di penjara. Kemudian, ketika diinterogasi, Park mengaku kepada pihak keamanan Jepang bahwa ia seorang diri yang merencanakan semua terror, sehingga membuat kawan-kawannya dibebaskan. Tapi tidak dengan Fumiko. Gadis yang kala itu berusia 26 tahun justru mengatakan sebaliknya kepada pihak keamanan, ia mengaku bahwa ia mengetahui dan menyusun semua rencana terror bersama Park, pernyataan tersebut membuat Fumiko tidak dibebaskan.

Tapi, tulisan ini bukanlah sebuah review film, bukan juga suatu fokus terhadap keberanian Park Yeol yang individualistik sekaligus altruis—sejak ia menyadari bahwa revolusinya hanya akan berhasil dengan kematiannya yang akan membuat dunia menyadari betapa kejamnya kekaisaran Jepang, melainkan tulisan yang akan membuat kita sedikit lebih jauh mengenal Fumiko Kaneko.

Fumiko Kaneko lahir di Yokohama pada 25 Januari 1903. Ia lahir dari seorang Ayah mantan Polisi alkoholik yang kasar, dan Ibunya adalah seorang buruh. Kedua orang tuanya tidak menikah secara legal, sehingga Fumiko menjadi seorang anak yang tak terdaftar, hal tersebut juga membuat Fumiko “tak pantas” menyandang nama Saeki sebagai nama keturunan Ayahnya, Fumikazu Saeki, sehingga kemudian Fumiko diberi nama akhir Kaneko, dari Ibunya, Kikuno Kaneko. Karena status dirinya sebagai anak yang tak terdaftar tersebut jugalah yang akhirnya membuat Fumiko tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal dan seakan-akan dikucilkan oleh masyarakat.

Setelah Ayahnya pergi, Ibunya sempat beberapa kali menjalin hubungan dengan lelaki lain dengan harapan memperbaiki keadaan. Tapi hubungan tersebut tak satu pun ada yang berjalan baik, dan akhirnya mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Ketika frustasi Ibunya memuncak, ia tak lagi memiliki solusi lain selain berencana menjual Fumiko kepada prostitusi. Tapi rencana itu batal setelah Ibunya mengetahui bahwa Fumiko akan dikirim ke wilayah lain di Jepang.

Masa-masa sulit berlalu, akhirnya Ibunya menikah lagi dan mengirim Fumiko ke Korea untuk tinggal di Bugang bersama Neneknya. Fumiko cukup senang dengan keputusan tersebut, karena Neneknya berjanji akan mengadopsinya dan memberikan pendidikan yang baik untuknya. Tapi kemudian tak banyak yang berubah, ia tak pernah benar-benar diadopsi dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Bahkan setelah beberapa tahun, Fumiko cenderung kembali dikucilkan karena ia disebut tidak pantas menyandang nama Iwashita dari Neneknya. Tak hanya itu, Nenek dan Bibinya juga seakan-akan sekadar menjadikan Fumiko sebagai pembantu rumah tangga.

Fumiko masih bisa sedikit merasa senang, karena setidaknya ia bisa mengenyam pendidikan formal di Korea. Tapi hidup tak selalu berjalan sesuai apa yang diharapkan. Awalnya, Fumiko dijanjikan untuk mendapat pendidikan yang baik dan layak agar kelak ia bisa masuk perguruan tinggi, tapi kemudian Fumiko hanya diberi kesempatan sekolah hingga bangku Sekolah Menengah Pertama, ia juga dilarang untuk membaca atau mempelajari hal lain yang tak ada hubungannya dengan pelajaran di sekolah. Setelah masa sekolahnya berakhir, Fumiko menghabiskan waktu untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah dan seringkali mendapatkan kekerasan dari Nenek dan Bibinya yang pada akhirnya membuat ia terkadang berpikir untuk bunuh diri.

Pengalamannya di Korea tersebut, tercatat di dalam sebuah memoar yang ia tulis ketika ia di penjara, Fumiko menyebut masa-masa di Korea sebagai salah satu masa tersulit dalam hidupnya.

Fumiko tak pernah benar-benar merasa bahagia di Korea, selain perlakuan kasar dari Nenek dan Bibinya, penderitaan yang dialami Fumiko juga ditambah dengan rasa kesepian karena ia dilarang bergaul (di sekolah, Fumiko cenderung lebih senang bergaul dengan lelaki, dan Neneknya tak menyukai itu). Jadi, ia menyimpan semua rasa sakit dan penderitaannya sendiri. Ya, hanya ia dan dirinya.

Pada Maret 1919, tepat sebelum Fumiko dikirim kembali ke Jepang, orang Korea mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut kemerdekaan bangsanya. Sedikitnya 2000 orang Korea kehilangan nyawa dan 20.000 lainnya ditangkap. Akibat perlakuan kasar yang ia terima dari orang tua dan Neneknya, serta pengamatannya terhadap pemerintahan militer Jepang yang keras di Korea—kemudian membentuk pemikiran Fumiko terhadap segala bentuk otoritas, ia berjanji akan terus memberontak dan melawan semua orang dan institusi yang otoriter.

Dari kehidupan yang sulit, kesepian, dan kesengsaraan tersebutlah yang membentuk kepribadiannya menjadi kuat, yang pada akhirnya membuat ia mengamini filsafat nihilistik dan jalan hidup anarkis.

Akhirnya Fumiko kembali ke Jepang, dan pergi ke Tokyo pada tahun 1920 setelah menolak permintaan keluarganya untuk menikah sesuai tradisi. Di Tokyo, ia hidup dan berjuang sendiri, melanjutkan sekolahnya sekaligus bekerja sebagai gadis penjual koran, seperti yang juga ia cantumkan dalam memoarnya, penjual sabun, dan pelayan. Selain nihilisme dan anarkisme yang membentuk pandangan Fumiko terhadap sistem dan kehidupan secara umum, ia juga menolak berbagai tradisi patriarkis di Jepang dengan memilih untuk lebih mempelajari matematika, bahasa Inggris dan Cina klasik, lalu masuk sekolah kedokteran serta memilih sekolah yang lebih dominan dihadiri oleh lelaki.

Feminismenya terungkap saat ia menyatakan bahwa ia ingin memenangi kompetisi akademis dengan para lelaki. Meskipun pendidikan formalnya tidak jelas, Fumiko memang orang yang cerdas. Ia membaca secara ekstensif dan banyak terinspirari oleh gagasan Bergson, Herbert dan Hegel. Fumiko juga sangat terkesan oleh para pemikir nihilis dan individualis seperti Nietzsche, Stirner dan Artsybashev. Fumiko percaya bahwa menyatakan diri adalah perlawanan politik terbaik, bahwa anarki bisa menjadi individualistik, bahwa masyarakat hanyalah benalu yang menggerogoti di mana selalu yang kuat melahap yang lemah—dan bahwa gerakan politik tidaklah memberikan kelegaan apa pun. “Apakah itu revolusi, jika hanya mengganti satu kekuasaan dengan yang lainnya?” Tulisnya dalam memoarnya.

Satu-satunya tindakan yang layak, Fumiko berpikir, adalah untuk “mempertaruhkan nyawa(nya)” pada pemberontakan melawan otoritas. Di penjara, ia menulis bahwa kematian adalah kebebasan “jika seseorang memiliki kehendak untuk mati!”

Seperti apa yang sebelumnya ditulis diawal, ketika diinterogasi, Fumiko memberikan pernyataan yang justru seakan-akan bertentangan dengan pernyataan Park, yang membuat Fumiko tak dibebaskan dari penjara. Tapi itulah yang ia mau, ia tetap ceria ketika pertama kali ditahan pada Juli 1925. Bahkan ia masih ceria ketika ia dan Park dituduh melakukan pengkhianatan tinggi dengan rencana merobohkan kekaisaran Jepang, tuduhan tersebut diberikan tanpa bukti yang jelas, dibuat hanya untuk mencari pembenaran atas pembunuhan orang-orang Korea dan menunjukan bahwa orang Korea yang berbahaya adalah mereka yang berada di luar negeri.

Fumiko dan Park menghabiskan masa-masa di penjara dengan berbagai permintaan aneh, seperti kekeuh ingin saling mengirim surat dan di foto menggunakan pakaian tradisional Jepang di ruang interogasi. Fumiko sangat nyaman berada di sisi Park, ia tak lagi merasa kesepian, sehingga ia akan melakukan apa pun agar ia tetap bersama Park. Di masa-masa itu jugalah Fumiko menulis memoarnya dengan pena dan kertas yang ia dapat dengan sedikit memohon kepada pihak keamanan.

Hari demi hari berlalu, dan pada 25 Maret 1926, untuk pertama kalinya, Fumiko semakin dekat dengan apa yang ia sebut kebebasan. Pada hari itu, Fumiko dan Park akhirnya dijatuhi hukuman mati. Walau pun banyak media asing dan pengacara yang membela mereka, mereka tak menginginkan itu, mereka menganggap hukuman mati tersebut sebagai opsi terbaik.

Park memiliki perasaan yang sama, Park ingin tetap bersama dengan Fumiko. Park yang juga kesepian, sakit dan hanya tinggal di rumah kawan-kawannya yang berbeda hampir setiap malam, seperti puisinya yang berjudul “Anjing Liar”, merasakan koneksi yang lain ketika ia mengenal Fumiko. Itulah yang membuat Park, sebelum hukuman mati dilakukan, meminta agar nantinya Fumiko dimakamkan di pemakaman keluarganya di Korea, agar setidaknya, Fumiko merasa memiliki keluarga.

Tapi, 10 hari kemudian, semuanya berubah, hukuman mati dibatalkan untuk menjaga citra kekaisaran Jepang yang terkenal adil dan bijaksana. Dengan berat, Park menerima keputusan itu, tapi Fumiko menolaknya dan berkata “Kau mempermainkan kehidupan orang-orang, membunuh atau membiarkan hidup sesuai keinginanmu sendiri. Apakah aku harus dibuang sesuai dengan keinginanmu juga?”

Keduanya kemudian dikirim ke penjara di Utsunomiya, tapi mereka tak pernah lagi bertemu dan bahkan tak lagi saling mengirim surat. Fumiko kembali ke kesepian yang dulu ia rasakan, ia menjadi pendiam dan selalu menolak untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan di penjara. Tapi sekitar tiga bulan kemudian, ia meminta agar ia diberi izin untuk bekerja menenun tali seperti tahanan lainnya. Keesokan paginya, pada 23 Juli 1926, ia ditemukan telah menggantung dirinya dengan tali yang telah ditenunnya. Walau ada beberapa hal mencurigakan di kematian Fumiko, para dokter yang melakukan otopsinya merasa tersentuh dan kagum, “tindakan bunuh diri yang direncanakan dengan cermat, dan tenang.”

Park terpukul atas kematian Fumiko, ia juga sedikit merasa kecewa karena Fumiko tak menepati janjinya untuk mati bersama. Park menjalani masa-masa hukuman dengan sulit dan seringkali melakulan mogok makan. Ia kemudian dibebaskan setelah Perang Dunia II berakhir.

Fumiko dan Park ketika di foto menggunakan pakaian tradisional di ruang interogasi ketika mereka berdua ditahan atas tuduhan pengkhianatan terhadap Kekaisaran Jepang, saat itu juga Park mengajukan pernikahan legal dengan Fumiko sesaat setelah ancaman hukuman

Hingga kematiannya, kesepian tak pernah benar-benar meninggalkan Fumiko, seakan-akan menjadi teman yang selalu ada di setiap fase kehidupan yang ia jalani. Walau pun sempat mengenal Park dan menemukan sedikit alasan untuk tetap hidup, ternyata kehidupan selalu memberi kejutan yang tak terduga. Harapan-harapan hancur bahkan sebelum rencana selesai dibuat dengan sempurna, itulah yang terjadi kepada Fumiko. Masa kecil penuh kekerasan dan belenggu kemiskinan, masa remaja yang diawasi dan dibatasi, hingga ia dewasa pun ia tak pernah benar-benar memiliki keadilan setelah keinginannya untuk tetap bersama Park hingga mati harus pupus oleh pihak keamanan Jepang yang sewenang-wenang.

Fumiko Kaneko, seorang gadis yang tak membiarkan dirinya mempercayai siapa pun atau apa pun selain egonya sendiri. Dan sumpah, keinginan, harapan, atau apapun itu; tidaklah selalu menjadi kenyataan. Mungkin ketika di ruang sidang ia berpikir bahwa Park akan memilih untuk tetap hidup. Mungkin hal itu meyakinkannya tentang apa yang ia curigai selama ini: bahwa hanya ada dirinya sendiri, dan akan selalu sendiri.

Di penjara sebelum Fumiko ditemukan bunuh diri, ia menulis puisi. Salah satunya ditemukan setelah ia mati:

“Ganja kecil itu melilit di jariku. Ketika aku menariknya dengan lembut, itu terdengar agak samar, “Aku ingin hidup,” Berharap untuk tak tertarik keluar, menggali tumitnya sendiri. Aku merasa sedih, sangat sedih. Apakah ini akhir dari perjuangan yang pahit untuk hidup? Aku tertawa terbahak-bahak.” 

***

Tulisan ini juga sedikit merangkum beberapa informasi dari WikipediaArchieve dan memoar Fumiko yang berjudul The Prison Memoirs of a Japanese Woman.

 


Ditulis oleh: Randy Radomski


 

Jacques Rancière dan Egaliter Anarkis

Gambar ini adalah sebuah Representasi melawan demokrasi ala Jacques Rancière

 

*)Ditulis oleh Nonzerosum. Seorang vegan dari Wales.

_

Jacques Rancière, di sisi lain, mengusulkan gagasan politik radikal yang sangat berbeda dengan politik orang kebanyakan. Baginya, politik muncul dari ruang yang retak dan bukan ruang yang halus; sesuatu yang memecah hubungan sosial di luar diri sendiri daripada menjadi imanen.

Gagasan Rancière tentang politik juga kuat dan kadang-kadang mejadi gagasan yang paralel dengan anarkisme, serta memiliki implikasi penting untuknya, seperti yang akan saya tulis. Memang, Rancière kadang-kadang menggambarkan pendekatannya pada politik sebagai “anarkis” dengan contoh, ia melihat demokrasi yang baginya tidak ada hubungannya dengan agregasi preferensi atau kumpulan institusi tertentu, tetapi lebih merupakan bentuk egaliter dari politik, di mana semua hubungan sosial hierarkis tidak cocok sebagai “pemerintahan”.

Selain itu, seluruh proyek politiknya lahir untuk mengganggu tatanan hierarki dan semua bentuk otoritas yang ada, untuk menggeser posisi kekuasaan dari masyarakat yang dipimpin, didominasi dan dikuasai. Segala bentuk politik pelopor (vanguardism), bagi Rancière, hanyalah gagasan elitisme dan penghinaan bagi masyarakat biasa. Memang, masyarakat “biasa” ini sebenarnya luar biasa; mampu membebaskan diri mereka sendiri tanpa campur tangan partai revolusioner.

Kita dapat melihat gagasan ini khususnya dalam penelitian Rancière tentang guru sekolah Prancis abad ke-19 yang bernama Joseph Jacotot, yang mengembangkan metode pendidikan anarkis di mana ia mampu mengajar siswa dengan gaya bahasa yang berbeda dari gaya bahasa pendidik lainnya, dan di mana siswa berada dapat menggunakan metode ini untuk mengajar diri mereka sendiri dan orang lain. Penemuan bahwa seseorang tidak perlu menjadi ahli dalam subjek atau bahkan memiliki pengetahuan nyata tentang hal apapun untuk mengajarkannya, melemahkan postur penguasaan dan otoritas intelektual; postur bahwa semua bentuk politik yang dilembagakan didasarkan pada otoritas politisi profesional, ahli, teknokrat, ekonom; mereka yang mengaku memiliki pengetahuan lebih yang tidak dimiliki orang lain.

Semua bentuk dominasi politik dan sosial bersandar pada ketimpangan kecerdasan yang disyaratkan, melaluinya hierarki dinaturalisasi dan posisi subordinasi diterima. Jika seperti yang ditunjukkan dalam percobaan Jacotot, sebenarnya ada kesetaraan kecerdasan dan gagasan bahwa tidak ada yang secara alami lebih atau kurang cerdas daripada orang lain, bahwa setiap orang sama-sama mampu belajar dan mengajar diri mereka sendiri; ini secara fundamental membahayakan prinsip inegaliter yang tatanan sosial didirikan. Bentuk emansipasi intelektual ini mengisyaratkan adanya politik egaliter yang mendalam, suatu politik yang tidak hanya mencari kesetaraan, tetapi juga yang lebih penting didasarkan pada fakta absolut kesetaraan. Dengan kata lain, politik, bagi Rancière dimulai dengan fakta kesetaraan: Kesetaraan bukan tujuan akhir, tetapi titik awal, anggapan untuk dipertahankan dalam setiap keadaan.

Selanjutnya, emansipasi bukanlah sesuatu yang dapat dicapai untuk rakyat, itu harus dicapai oleh rakyat, sebagai bagian dari proses emansipasi diri di mana ada pengakuan oleh individu atas kesetaraan orang lain.

Jelas, ide-ide pembebasan diri, otonomi, dan destabilisasi hierarki sosial dan politik ini melalui pengakuan dan penegasan kesetaraan mendasar dari semua makhluk yang berbicara, memiliki kesamaan yang jelas dengan anarkisme. Pemikiran Rancière adalah sejenis anarkisme, di mana dominasi dan “hasrat untuk ketidaksetaraan” yang menjadi alasannya untuk dipertanyakan pada tingkat yang paling mendasar. Namun, saya akan menyarankan bahwa konsepsi politik Rancière juga memungkinkan kita untuk memikirkan kembali aspek-aspek tertentu dari anarkisme dan membawanya ke arah teoretis dan politis yang baru. Yang sentral di sini adalah penataan kembali anarkisme tertentu; tidak lagi di sekitar pertentangan antara masyarakat dan negara, tetapi antara “politik” dan “polisi”. Dengan kata lain, antagonisme sentral tidak begitu banyak antara dua entitas, tetapi antara dua mode yang berbeda berkaitan dengan dunia.

“Polisi” mengacu pada rasionalitas “penghitungan” yang menemukan tatanan sosial yang ada; sebuah logika yang memisahkan dan mengatur ruang sosial; menugaskan berbagai identitas pada tempat mereka dalam hierarki sosial. Dalam hal ini, polisi akan memasukkan fungsi-fungsi koersif dan represif negara yang biasa, tetapi juga mengacu pada gagasan yang jauh lebih luas tentang organisasi dan regulasi masyarakat, distribusi tempat, dan peran. Dengan kata lain, dominasi dan hierarki tidak dapat terbatas pada negara, tetapi pada kenyataannya terletak di semua jenis hubungan sosial yang memang dominasinya adalah logika tertentu dari organisasi sosial, di mana orang-orang ditempatkan pada peran tertentu seperti “pekerja”, atau “penjahat”, atau “imigran ilegal”, atau “perempuan”.

Politik, di sisi lain adalah proses yang mengacaukan logika tatanan sosial ini; yang memecah ruang sosial melalui permintaan oleh yang dikeluarkan untuk dimasukkan. Bagi Rancière, politik muncul dari perselisihan mendasar atau “ketidaksepakatan” (mesentente) antara kelompok tertentu yang dikucilkan dari tatanan sosial yang ada: kelompok sosial yang dikucilkan ini tidak hanya menuntut agar suaranya didengar dan menyatakan bahwa ia dimasukkan dalam tatanan sosial, tetapi lebih tepatnya, ia mengklaim melakukan hal itu untuk mewakili seluruh masyarakat.

Jadi, yang penting bagi politik menurut Rancière, adalah bahwa bagian yang dikucilkan tidak hanya menuntut untuk dihitung sebagai bagian dari keseluruhan sosial, tetapi juga mengklaim bahwa ia benar-benar mewujudkan keseluruhannya. Rancière menunjukkan cara bahwa di Yunani kuno, demo atau “masyarakat”; orang miskin yang tidak memiliki tempat tetap dalam tatanan sosial, menuntut untuk diikutsertakan, menuntut agar suaranya didengar oleh tatanan aristokratis dan dengan melakukan itu, diklaim mewakili kepentingan universal seluruh masyarakat. Dengan kata lain, ada semacam substitusi metonimis dari bagian untuk keseluruhan bagian mewakili perjuangannya dalam hal universalitas: kepentingan khususnya direpresentasikan sebagai identik dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dengan cara ini, tuntutan sederhana untuk dimasukkan, menyebabkan kehancuran atau dislokasi dalam tatanan sosial yang ada: bagian ini tidak dapat dimasukkan tanpa mengganggu logika tatanan sosial yang didasarkan pada sebuah pengecualian.

Untuk memberikan contoh kontemporer: perjuangan para imigran “ilegal” mungkin kelompok yang paling dikucilkan saat ini untuk mendapat tempat dalam masyarakat agar status mereka dilegitimasi; akan menciptakan semacam kontradiksi dalam tatanan sosial yang menolak untuk memasukkan atau bahkan mengakui mereka; yang menjanjikan hak-hak yang sama dan demokratis untuk semua orang namun menolak mereka untuk kelompok khusus ini. Dengan cara ini, tuntutan “ilegal” untuk dihitung sebagai “warga negara” menyoroti ketidakkonsistenan situasi di mana hak-hak demokratis universal dijanjikan kepada semua orang tetapi dalam praktiknya hanya diberikan kepada sebagian orang; ini menunjukkan bahwa pemenuhan janji demokratis akan hak-hak universal paling tidak tergantung pada pengakuan mereka juga sebagai warga negara dengan hak yang sama. Oleh karena itu, tahap diskursif yang menjadi dasar politik terjadi adalah ketidakkonsistenan dalam struktur universalitas antara janjinya dan aktualisasinya.

Untuk memberikan contoh lebih lanjut: protes yang terjadi di Perancis pada tahun 2004 tentang larangan jilbab di sekolah menunjukkan ketidakkonsistenan situasi di mana, di satu sisi, semua orang secara resmi diakui memiliki hak yang sama sebagai warga negara Republik Perancis, sementara pada di sisi lain, undang-undang diperkenalkan atas nama ideal kesetaraan Republikan yang jelas mendiskriminasi dan menargetkan minoritas tertentu. Karena itu adalah suatu kesalahan untuk mengklaim, seperti yang dilakukan oleh anggota parlemen yang konservatif dan sosialis, bahwa protes dan tindakan perlawanan terhadap hukum jilbab adalah anti-Republik: sebaliknya, para wanita Muslim yang memprotes larangan jilbab melambaikan warna gelap dan memegang plakat dengan kata-kata Liberté, Egalite, Fraternité.

Dengan mengidentifikasi cita-cita Republik, mereka menyoroti dengan cara yang sangat efektif; fakta bahwa mereka dikeluarkan dari cita-cita ini. Pesan mereka adalah bahwa mereka percaya pada Republik tetapi Republik tidak percaya pada mereka. Di sini kita melihat bagian yang dikecualikan mengklaim mewakili universalitas ideal egaliter melalui tuntutan sederhana untuk dihitung. Jadi bagi Rancière, “politik ada kapan pun jumlah bagian dan partai masyarakat terganggu oleh prasasti bagian dari mereka yang tidak memiliki bagian”.

Sementara itu mungkin tampak bahwa permintaan untuk dimasukkan ke dalam tatanan sosial, hukum, dan politik yang ada bukanlah strategi anarkis; intinya adalah bahwa permintaan untuk inklusi karena ia dibingkai dalam hal universalitas, bagian yang dalam sangat pengecualian, mengklaim sebagai keseluruhan, menyebabkan dislokasi perintah ini. Dalam pengertian ini, politik radikal dewasa ini mungkin mengambil bentuk gerakan massa yang membangun diri mereka sendiri di sekitar kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan tersingkirkan, seperti kaum miskin, atau imigran “ilegal”. Tentu saja ini tidak berarti bahwa gerakan massa tidak boleh peduli dengan isu-isu global umum seperti lingkungan; tetapi memobilisasi di sekitar struktur dominasi dan eksklusi tertentu dan di sekitar mereka yang paling terpengaruh olehnya, dapat menjadi bentuk perlawanan yang efektif.

Namun, kepentingan teoritis untuk anarkisme dari pemahaman Rancière tentang politik terletak pada penjelasannya tentang subjektivitas politik. Bagi kaum anarkis khususnya kaum anarkis klasik, subjek memberontak sebagian karena seperti yang akan dikatakan Bakunin, ada kecenderungan alami dan spontan untuk memberontak, tetapi lebih tepatnya, karena subjek secara intrinsik dan organis bagian dari masyarakat, dan masyarakat dikondisikan oleh esensi tertentu yang rasional dan alami yang terkuak ke arah revolusi dan emansipasi. Dengan kata lain, anarkisme tidak hanya didasarkan pada visi emansipasi manusia dan kemajuan sosial tertentu, tetapi juga pada gagasan rasionalitas sosial yang bergerak menuju arah itu. Gagasan ini dapat dilihat dalam pemahaman materialis Bakunin tentang hukum alam dan sejarah hukum yang dapat diamati secara ilmiah (Bakunin, 1953: 69) atau keyakinan Kropotkin bahwa ada kecenderungan bawaan dan evolusi terhadap mutualisme dalam semua makhluk hidup, atau, dalam konsepsi Murray Bookchin; potensi “keutuhan” yang merupakan pusat idenya tentang ekologi sosial.

Apa yang kami temukan di sini adalah gagasan tentang kemajuan sosial, baik didorong oleh dialektika atau hukum-hukum alam atau sejarah. Yang sentral di sini adalah pandangan bahwa subjek manusia tidak hanya pada dasarnya jinak (bagi Kropotkin, manusia memiliki kecenderungan alami terhadap kerja sama) tetapi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan sosial. Subyektivitas politik radikal, bagi kaum anarkis, adalah ekspresi dari sosialitas yang melekat.

Pandangan Rancière tentang subjektivitas politik akan sedikit berbeda dari ini. Tidak ada kecenderungan alami atau sosial terhadap revolusi; alih-alih, yang penting adalah ketidakpastian dan kontingensi politik. Selanjutnya, subjek politik tidak didasarkan pada konsep esensialis sifat manusia; melainkan subjek muncul dengan cara yang tidak dapat diprediksi melalui pecahnya peran dan identitas sosial yang tetap. Poin terakhir ini penting. Bagi Rancière, subjektivitas politik bukanlah penegasan atau ekspresi dari sosialitas bawaan, tetapi lebih merupakan perpisahan dengan sosial. Ini adalah semacam de-subyektifikasi atau “dis-identifikasi”  – “penghapusan dari sifat alami tempat” – di mana seseorang menjauhkan diri dari peran sosial normal seseorang:

Subjektivitas politik memaksa mereka keluar dari kejelasan seperti itu dengan mempertanyakan hubungan antara siapa dan apa dalam redundansi yang tampak dari pengajuan keberadaan […] ‘Pekerja’ atau lebih baik lagi ‘proletar’ adalah subjek yang mengukur masalah tersebut. kesenjangan antara bagian pekerjaan sebagai fungsi sosial dan tidak memiliki bagian dari mereka yang melaksanakannya dalam definisi kesamaan masyarakat.

Alih-alih subjektivitas politik muncul sebagai imanen dalam masyarakat, adalah sesuatu yang dalam arti tertentu  berasal dari “luar”, bukan dalam hal eksterior metafisik, tetapi dalam hal proses pelepasan dari posisi subjek yang mapan dan identitas sosial.

‘Bertahan dari Virus’ – Jurnal Bodat

_

((Naskah ‘Bertahan dari Virus’))

 

Belakangan ini, dunia sedang dilanda wabah virus corona lewat pandemi barunya—Covid-19. Beberapa otoritas pemerintahan mulai terlihat timpang dalam mengatasi kasus tersebut, sementara para warga sipil sebagiannya terlihat amat khawatir dan sebagian lainnya cenderung terlalu berharap—bahkan marah—atas kinerja pemerintahan dalam menangani.

Pandemi virus bisa menyebabkan krisis dan kelumpuhan kuasa politik & ekonomi. Berbicara tentang krisis, sebagai pihak yang paling dirugikan; warga sipil non-penguasa, sebaiknya saling membantu dengan berbagai cara.

Naskah ini bisa dipakai sebagai gambaran mula dari peta politik warga sipil supaya mandiri menghadapi krisis. Silahkan unduh file-nya pada tautan di atas.

 

‘Perang Melawan Negara’ – Saul Newan

[“Perang Melawan Negara” – Saul Newan]

Saul Newman merunut pertemuan pemikiran antara Max Stirner dan Gilles Deleuze, keduanya sama-sama menolak pendekatan moralistik dan rasionalis seperti yang sering diajukan para anarkis klasik, juga melampaui argumen-argumen para marxis yang melihat negara sebagai kerja ekonomi kapitalis dan tunduk pada kepentingan borjuasi.

Dalam buku ini, Saul berusaha untuk menunjukan keterkaitan antara esensi manusia, hasrat, dan kekuasaan yang membentuk dasar dari otoritas negara. Baik Max Stirner dan Gilles Deleuze —dengan pemikirannya yang anti esensialis— keduanya mampu melampaui sekaligus mereflesikan ulang batasan-batasan teori dari anarkisme klasik, juga mengembangkan teori negara yang melampaui Marxisme dalam melihat negara sebagai sesuatu yang otonom dari aturan-aturan ekonomi. Mereka memutuskan relasi dengan paradigma pencerahan, seperti humanisme, kemudian membuka kedok hubungan antara kekuasaan dan esensi manusia serta menunjukkan bahwa desire kadangkala dapat menghendaki represinya sendiri.

Buku ini memberikan kita sebuah sudut pandang baru mengenai negara serta berguna bagi kita untuk mengembangkan strategi dalam setiap upaya melawan dominasi yang terus dilancarkan Negara melalui segala celah dan penjurunya —Sebuah perlawanan yang berada ‘di luar’ negara.

Maka, pertanyaan selanjutnya adalah “Sudah seberapa jauh diri kita berpartipisasi dalam penindasan terhadap kita sendiri?”

Ilegalisme dan Praktik Kekerasan dalam Sejarah Praksis Anarkisme

 

Kemuakan dan rasa kasihan melihat para anarkis moralis yang berlomba-lomba meluruskan paradigma anarkisme yang seolah-olah dipenuhi kebaikan dan kesucian ditambah pemaksaan keseragaman taktik akhirnya menggiring saya menuliskan teks singkat ini. Alih-alih memaparkan tujuan anarkisme yang utopis dengan segala hal yang penuh teladan di dalamnya, saya memberikan perspektif yang berlawanan dari kaidah-kaidah moral dan kesucian dari segala hal yang bersifat benar.

Sebagai penafian, apapun narasi yang saya ciptakan dalam tulisan ini tidak memiliki nilai relevansi apapun dalam penerapannya di era modern saat ini, mungkin cukup dikategorikan sebagai agitasi seenaknya dan pengungkapan sejarah.

Mari berdansa sejenak dalam alur ilegalisme dan pemberontakan anarkisme individualis yang penuh dengan darah dan gairah!!

Bahwa benar apa yang diinginkan masyarakat anarki dalam praksisnya adalah sebuah tatanan yang seimbang, dalam spektrum egalitarian sosial yang dinikmati bersama dalam harmonisasi masyarakat tanpa kelas dan terbebas dari aturan yang menindas.

***

Utopia Harus Dihidupkan

Perjalanannya bukan tanpa agresi dan kekerasan. Kekerasan ada dan tetap akan hadir dalam sebuah tujuan revolusioner.

Kegelisahanku berada pada tahap di mana apa yang kita pikirkan tidak selamanya benar sesuai realita. Anarkisme dalam tendensi penuh pemberontakan dan pembangkangan yang jahat bukanlah masyarakat pra-industri yang hidup berdasar atas keinginan internal secara mutlak. Ide-ide awal anarkisme lahir seiring dengan eksistensi negara saat itu di mana rezim otoritarian yang dominan mendorong para pemikir sampai pada ide perlawanannya. Ide anarkisme tidak akan muncul ketika kondisi dalam keadaan tidak timpang.

Mengupayakan anarkisme dalam masyarakat hari ini yg terpapar dalam legitimasi agama dan moral bukan sebuah hal yang mudah juga bukan pula sebuah bentuk keharusan bahwa anarkisme harus diupayakan sesegera mungkin—maka dari itu bersifat utopia. Anarkisme pada akhirnya bukan merupakan tujuan, melainkan sebuah cara hidup individu per individu; hidup hari ini. Penggiringan opini dan perspektif masyarakat tentang apa yang baik dari anarkisme menjadikan ia bersifat banal. Sejatinya anarki adalah jalan yang penuh cinta dan darah dalam waktu yang bersamaan.

Masyarakat, seperti apa yang bisa saya simpulkan dapat diringkas sebagai berikut: kelas-kelas yang berkuasa melalui perantara negara memastikan bahwa hanya pandangan mereka sendiri tentang budaya, moralitas, dan kondisi ekonomi yang diizinkan untuk menembus massa. Mereka menetapkan pandangan mereka sendiri dalam bentuk dogma-dogma sipil yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.

Mengutip argumen mendasar Max Stirner tentang pengurangan yang efektif dari semua kategori politik konseptual dari ide egoisnya, saya rasa cukup untuk membuktikan bahwa keinginan seseorang harus berada pada puncak individualitas individu itu sendiri; bukan berasal dari eksternal dirinya. Dan memaksakan pelurusan makna tentang perilaku anarkis yang penuh etika dan kebaikan adalah sebuah kekonyolan menurut saya. Sebagai seorang yang dipengaruhi term “individualis”, mungkin pernyataan-pernyataan saya akan melahirkan perspektif dengan konotasi sentimen bagi kebanyakan orang.

Masyarakat adalah musuh dari anarkis ketika masyarakat berada berseberangan atas ide anarkisme; ini substansi anarkisme mutlak menurut saya. Mengapa?

Masyarakat adalah apa yang dikatakan Stirner sebagai sebuah bentuk kumpulan antar individu. Ketika masyarakat terserap dalam legitimasi agama maka secara langsung hakikat individualitas terabaikan, contohnya lahirnya budaya dan kontrol sosial. Aturan-aturan komunal diberlakukan sebagai penunjang keberlangsungan komunitas.

Sederhananya, mengapa kita menyibukkan diri meluruskan anarkisme untuk orang-orang yang secara terang-terangan menolak?!

“Anarkisme adalah kekerasan!”  Ya.., pada kesempatan berikutnya bisa juga tidak. Kekerasan, tindakan ilegal, itu adalah sifat alamiah manusia dan anarkis salah satu di dalamnya sebagai sebuah transformasi pemberontakan. Kekerasan dan kejahatan di sini harusnya tidak bebas nilai.

Apabila menurut Erico Malatesta bahwa kekerasan hanya dibenarkan ketika perlu untuk membela diri sendiri dan orang lain terhadap penindasan. Budak selalu dalam keadaan membela diri yang sah dan oleh karena itu kekerasannya terhadap majikan dan penindasan selalu bisa dibenarkan. Logika serupa tidak akan sama dalam perspektif semua orang—masyarakat.

Masyarakat hari ini memiliki kesadaran yang minim perihal perannya sebagai budak dalam integral negara. Tanpa menyadari dan tak mau ambil pusing. Skeptis dan apatis.

Peran kekerasan sangat intens dalam sejarah anarkisme. Seorang anarkis akan menjadi pembohong apabila yang keluar dari mulutnya hanya tentang jalan kebenaran yang penuh etika dan cinta dalam sejarah di mana anarkisme berawal. Ketika kita menegaskan diri sebagai seorang anarkis, kita menentang dominasi. Kita berjuang melawan dan menolak seluruh tatanan sosial dan semua hukum yang membantunya. Menjadi seorang anarkis akan menyeret kita menjadi seorang ilegalis; karena apa yang ditawarkan negara adalah kontradiksi dari apa yang kita ingini.

Mungkin kita bisa melewatkan sejarah-sejarah anarkisme yang paling berdarah seperti Revolusi Spanyol atau Komune Paris yang hanya bertahan tidak lebih dari seminggu. Atau pembentukan wilayah otonom di Chiapas dan Rojava yang masih berlangsung sampai saat ini. Semua berada pada titik di mana kekerasan untuk sebuah tatanan anarkisme menemui praktisnya.

Kekerasan keji yang membanggakan dalam praksis anarkisme tidak hanya berupa pemberontakan sosial yang melibatkan konsentrasi massa dengan jumlah yang besar. Reklamasi individu sebagai sebuah bentuk ilegalisme dengan jalan kekerasan dan pencurian adalah bisa diterima dalam individualisme anarkis.

Aksi-aksi kekerasan dalam anarkisme tidak bisa dihilangkan secara kontekstual. Contoh yang paling populer adalah percobaan pembunuhan seorang manajer perusahaan yang dilakukan Alexander Berkman secara personal dengan cara menyusup dalam kantornya dan melakukan penembakan jarak dekat.

Hampir satu dekade sbelum aksi Berkman, sudah lebih dulu terjadi tragedi berdarah Haymarket di Cichago yang melibatkan kaum buruh mengakibatkan 4 orang diantaranya dihukum gantung. Berdasarkan bukti-bukti tidak jelas, hakim dalam pengadilan para anarkis itu secara terbuka menyatakan: Kalian tidak dihukum sebagai pelempar bom dalam kasus Haymarket, tapi karena kalian adalah anarkis.

Di Eropa pada bulan Maret di tahun yang sama dengan aksi Berkman, pemboman rumah hakim ketua persidangan para anarkis di Clichy-Paris menambah daftar kekerasan dalam reputasi anarkisme dengan tindakan percobaan pembunuhan yang dilakukan Ravachol; yang mengakibatkan dia dihukum gantung pada tahun yang sama. Disusul August Vailant dengan tindakan yang hampir mirip yakni dengan melemparkan bom paku kedalam kamar deputi Paris (meskipun gagal membunhnya), setahun setelah kejadian Ravachol. Vailant mengalami nasib yang sama dengan Ravachol setelah dirinya menyerahkan diri dan dihukum sampai mati dalam penjara. Tidak sampai di situ, respon dari kematian rekan individualis anarkis disambut dengan aksi pelemparan bom ke dalam Cafe Terminus di St. Fare yang dilakukan Emile Henry mengakibatkan 11 orang tewas dan satu di antaranya adalah seorang perempuan yang sedang hamil.

Anarkis akhirnya menjadi utopia karena visi anarkis luhur-transendental; yang akhirnya mengabaikan pemberontakan individu yang bisa dilakukan dalam kekuatan yang mustahil. Individualis berada pada puncak pembangkangan anarkisme dengan aksi-aksi penyerangan individual.

Tidak hanya di Eropa, pada 1890-an, aksi kekerasan anarkis dengan taktik penyerangan personal terjadi di Asia oleh seorang perempuan Jepang yang dipengaruhi kuat oleh ide-ide anarkis nihilis; Fumiko Kaneko, yang  dihukum penjara karena perencanaan untuk membunuh anggota keluarga kekaisaran Jepang. Untuk misi seperti itu, mereka telah melepaskan fragmen-fragmen superior dalam diri mereka, meskipun akhirnya penting untuk menempatkan mereka dalam sejarah keberanian anarkisme untuk diketahui saat ini.

Ilegalisme adalah bentuk pemberontakan individu dan revolusi harian dalam pembebasan diri dari doktrin sosial yang melegitimasi kita untuk tunduk pada moralitas dan etika. Ilegalisme menyerang lebih jauh bahkan untuk anarki itu sendiri.

Anarkisme adalah selalu tentang ilegalisme; menggiringnya pada perspektif kesahihan dari sifat yang baik dalam moral adalah sebuah dikotomi palsu; sebuah kontradiksi berlebihan yang hanya dipakai oleh para moralis penipu.

“Pada dasarnya, ilegalisme yang dianggap sebagai tindakan pemberontakan, lebih merupakan masalah temperamen daripada doktrin.”—Marius Jacob.

Ini jelas membenarkan kejahatan dalam ilegalisme adalah alamiah personalitas, meskipun beberapa ilegalis anarkis melakukannya demi tujuan propaganda.

Saya bukan pengemis. Saya hanya mengambil apa yang dapat saya ambil dengan kekuatan saya.”—Renzo Novatore.

Definisi ini juga menggiring kita pada sebuah pragmatis hak untuk mencuri. Karena bukankah segala hal ketika dimonopoli secara sentral akan menjadikannya sebuah perampokan—seperti apa yang dimaksudkan Proudhon dalam Property is A Theft.

Kisah para bandit Bonnot Gang mungkin bisa menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan dalam tindakan ilegal sebagai seorang anarkis individualis dan sebuah bukti bahwa substansi properti bagi seorang kaya adalah apa yang anda miliki dan mampu anda pertahankan. Ketika saya bisa merampasnya, itu sudah bukan lagi hak anda.

Perampokan Rue Ordener dan belasan kali pencurian mobil adalah upaya bagaimana para ilegalis bertahan secara ekonomi sekaligus pemberontakan penyerangan terhadap borjuasi dan keinginan untuk hidup dalam peperangan melawan instrumen negara dengan memilih sasaran secara objektif yang tentu saja dengan pengecualian para masyarakat sipil yang penting dalam peran humanisme seperti dokter.

Dasar-dasar tindakan ilegalisme seperti yang dilakukan para bandit tidak harus mendapat dukungan dari rekan anarkisnya pada masa itu. Bahkan mengalami penolakan keras dari para anarkis Eropa saat itu dengan mengkonotasikan mereka sebagai para anarkis yang ceroboh dan memilih menjauhi para bandit. Mereka membuktikan bahwa apa yang dilakukan tanpa perlu melahirkan pemaksaan dukungan dan solidaritas. Mereka telah keluar dari apa yang selalu dikultuskan kaum anarkis.

Insiden Tottenham Outrage adalah sebuah sejarah ilegalisme yang penuh intrik dan keberanian yang paling populer dalam sejarah kekerasan anarkisme selain legenda Duval, Piny, dan Emile Armand—di mana insiden tragis yang terjadi di pinggiran kota London yang melibatkan 2 ilegalis Rusia yang menyerang seorang akuntan pabrik untuk merampoknya dan setelah itu dilewati dengan adegan baku tembak selama hampir 2 jam melawan polisi dan melukai 22 orang dan membunuh 3 di antaranya. Para ilegalis ini membawa pemberontakan pada tahap intens yang dipenuhi keberanian dan tekad yang kuat untuk melawan dominasi.

Konsepsi anarkis menempatkan individu pada dasar dari semua konsekuensi praktis ini; maka tidak perlu mengindahkan moralitas kolektif dan pola umum kehidupan. Anarkis mengatur hidupnya tidak sesuai dengan hukum—seperti legalis, seperti perspektif massa atau menurut metafisika kolektif atau mistik, seperti agama, nasionalis atau sosialis, tetapi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi pribadinya sendiri.

Biarkan ini diketahui. Biarkan ini akhirnya dipahami; bahwa dalam masyarakat saat ini kita adalah pelopor pasukan barbar. Bahwa kita tidak menghormati apa yang merupakan kebajikan, moralitas, kejujuran. Bahwa kita berada di luar hukum dan aturan.

 


Emergency1312


14 Februari 2020

Kebangkitan Anarki Global yang Mengalahkan Era 1960-an (?)

_

 

*)Ditulis oleh Pankaj Mishra. Esais politik asal India.

_

Ledakan protes di India terjadi atas undang-undang kewarganegaraan yang secara eksplisit mendiskriminasi 200 juta populasi Muslimnya. Pemerintah nasionalis-Hindu, Narendra Modi, telah menanggapi protes itu melalui polisi yang menembaki para demonstran dan menyerangi kampus-kampus universitas.

Protes global yang membara di jalanan; dari Sudan  hingga ke Cile, Lebanon serta Hong Kong, akhirnya mencapai negara yang sebagian  besar dari 1,3 miliar penduduknya berusia di bawah 25 tahun. Implikasi sosial, politik, dan ekonomi tak mungkin menjadi lebih serius.

Baru bulan lalu, mahasiswa di kampus Universitas Politeknik Hong Kong melempar bom bensin ke polisi, dan pada gilirannya, polisi menembakkan gas air mata, peluru karet, dan meriam air. Perlawanan kekerasan terhadap negara otoriter ini merupakan novel bagi Hong Kong. Gerakan Payung yang pertama kali mengekspresikan sentimen massa untuk otonomi yang lebih besar dari Beijing berjalan sangat damai pada 2014. Para juru kampanye demokrasi di Hong Kong saat ini juga telah melakukan perjalanan yang sangat jauh dari para pelajar Tiongkok yang menduduki Lapangan Tiananmen pada tahun 1989. Dan terhadap siapapun, mereka telah dibandingkan secara salah.

Para pelajar tahun 1989 sangat menghormati negara mereka. Dari foto-foto, para siswa yang sedang menuntut terlihat berlutut di tangga Aula Besar Rakyat dan tidak kalah jelasnya dengan gambar ikonik seorang pemrotes yang menghadapi sebuah tank.

Tidak hanya di Hong Kong, pengakuan terhadap otoritas negara sebagai juru pengadil yang pamungkas kini menghilang secara mudah; sama halnya dengan di India dan banyak negara lainnya. Hal tersebut digantikan oleh keyakinan bahwa negara telah kehilangan legitimasinya melalui tindakan kejam dan melakukan fitnah.

Hari ini, para pengunjuk rasa yang sangat muda lebih sangat berguna dibandingkan dengan demonstran mahasiswa Perancis di Paris era 1968. Yang disebutkan terakhir ini menduduki tempat-tempat kerja dan belajar, jalanan, dan alun-alun. Mereka juga memperoleh kekerasan polisi melalui barikade darurat dan menggunakan molotov cocktail.

Layaknya pengunjuk rasa hari ini, siswa-siswa Perancis menyeruak ke dalam kekerasan di tengah meningkatnya pertempuran jalanan pada tataran global. Mereka mengklaim menolak nilai dan pandangan generasi yang lebih tua. Mereka juga tidak dapat dengan mudah diklasifikasikan sebagai sayap kiri, sayap kanan, maupun sentris. Memang, kaum radikal Perancis saat itu membingungkan banyak orang karena mereka membenci Partai Komunis Perancis hampir sebanyak partai-partai kanan. Komunis Perancis akhirnya menolak siswa-siswa yang memprotes sebagai “anarkis”.

Peyoratif biasa seperti ini membingungkan antara anarkisme dan disorganisasi. Harus diingat, bahwa politik anarkis adalah salah satu tradisi politik dan intelektual tertua di dunia modern. Hari ini, hal ini menggambarkan perubahan baru yang radikal menjadi protes di seluruh dunia. Politik anarkis mulai muncul dari pertengahan abad ke-19 dan seterusnya; yang awalnya di masyarakat di mana otokrat yang kejam berkuasa—seperti di Perancis, Rusia, Italia, Spanyol, dan bahkan Cina—dan di mana harapan perubahan melalui kotak suara tampaknya sama sekali tidak realistis.

Kaum anarkis—yang salah satunya membunuh Presiden AS, McKinley, pada tahun 1901—mencari kebebasan dari apa yang mereka lihat sebagai cara produksi ekonomi yang semakin eksploitatif. Tetapi tidak seperti kritik sosialis terhadap kapitalisme industri, mereka mengarahkan sebagian besar energinya pada pembebasan dari apa yang mereka lihat sebagai bentuk tirani dari organisasi kolektif—yakni negara dan birokrasinya; yang dalam pandangan mereka bisa komunis maupun kapitalis. Seperti Pierre-Joseph Proudhon, pemikir pelopor anarkisme (dan kritikus Marx yang kuat), mengatakan bahwa, “Dipimpin harus dijaga, diperiksa, dimata-matai, diarahkan, digerakkan oleh hukum, diberi nomor, didaftarkan, diindoktrinasi, diceramahi, dikendalikan, diperkirakan, dinilai, dikecam, diperintahkan oleh makhluk yang tidak memiliki hak atau kebijaksanaan atau kebajikan untuk melakukannya.”

Bagi banyak kaum anarkis; negara, birokrasi, dan pasukan keamanan adalah penghinaan terdalam bagi martabat dan kebebasan manusia. Mereka berusaha untuk mencapai kebebasan demokratis dengan pengurangan drastis kekuatan negara berkepala hydra dan intensifikasi kekuatan individu secara simultan dari bawah melalui tindakan terkoordinasi.

Untuk kaum anarkis, demokrasi bukanlah tujuan yang jauh. Kecuali, apabila dicapai melalui partai politik yang terintegrasi secara vertikal, institusi impersonal, dan proses pemilihan yang panjang. Demokrasi adalah pengalaman eksistensial yang langsung tersedia untuk individu secara bersama-sama untuk menentang otoritas dan hierarki yang menindas.

Mereka melihat demokrasi sebagai kondisi pemberontakan permanen terhadap negara yang terlalu tersentralisasi dengan perwakilan dan penegaknya; termasuk birokrat dan polisi. Keberhasilan dalam upaya ini diukur dengan skala dan intensitas pemberontakan serta kekuatan solidaritas yang tercapai; bukan melalui konsesi apapun (selalu tidak mungkin) dari otoritas yang dihina.

Sama halnya seperti bagaimana para pengunjuk rasa saat ini memandang demokrasi sebagaimana mereka berjuang; tanpa banyak harapan kemenangan yang konvensional dengan melawan pemerintahan yang digerakkan secara ideologis nan kejam.

Biarlah tanpa ada keraguan. Konflik yang lebih terbuka dan tidak terselesaikan antara warga negara biasa dan pihak berwenang cenderung menjadi norma global daripada pengecualian. Tentu saja, ketidakpuasan militan hari ini tidak hanya lebih luas daripada akhir 1960-an. Ini juga berkonotasi dengan gangguan politik yang lebih dalam.

Negosiasi dan kompromi antara berbagai kelompok penekan dan kepentingan yang telah mendefinisikan masyarakat politik sejak lama tiba-tiba terasa aneh. Partai dan gerakan politik gaya lama berantakan, masyarakat lebih terpolarisasi daripada sebelumnya, dan kaum muda tidak pernah menghadapi masa depan yang lebih tidak pasti. Karena marah, individu-individu tanpa pemimpin memberontak terhadap negara-negara yang semakin otoriter dan birokrasi. Dari Santiago sampai New Delhi, politik anarkis tampaknya merupakan gagasan yang waktunya telah tiba.

_

 

[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Bukan peramal, sesekali prediksinya tepat.]

 

 

Kapitalisme Cinta

Di era yang penuh dengan materi saat ini, sepertinya amat sulit untuk bicara tentang cinta. Orang lebih senang untuk membicarakan tentang uang dan kesuksesan. Pertimbangan para gadis pun sekarang jauh lebih kritis. Hal pertama yang menjadi penilaian terkadang adalah pekerjaan, penghasilan, dan apakah pasangannya naik mobil atau tidak. Begitu juga, terkadang pria pun berpikiran demikian.

Inilah yang aku sebut sebagai era kapitalisme cinta; dimana kekayaan dan modal menjadi penentu untuk memperoleh cinta seseorang. Terkadang orang tua juga berpikir demikian; anak perempuannya diarahkan untuk menikah dengan seorang yang mapan, tanpa menanyakan apakah anaknya cinta atau tidak dan apakah keputusan itu tidak melukai hati orang lain.

Maka tak heran, banyak konsenkwensi sosial yang kemudian terjadi; banyak sekali para pemuda yang terkadang putus cinta dan kemudian bunuh diri karena merasa terlecehkan dan merasa hidupnya tidak berharga lagi. Dan memang penghargaan terhadap jiwa manusia semakin menurun; yang dihargai saat ini hanyalah uang dan kekayaan. Kebenaran, perasaan manusia, sudah tidak menjadi penting lagi. Prinsip kebanyakan orang adalah “tidak penting membahagiakan orang lain, yang penting adalah membahagiakan diri sendiri”.

Tidak hanya bunuh diri, perceraian pun meningkat dan semakin banyak kasus kriminal. Manusia seperti kehilangan makna hidup, lupa arti penghormatan dan cinta, lupa akan betapa bernilainya ketulusan dan budi seseorang. Manusia menjadi berorientasi pada materi. Inilah suatu fenomena kapitalisme cinta; dimana cinta dan ketulusan hati manusia hanya dihargai dengan uang dan materi. Suatu fenomena komersialisasi cinta dan perdagangan kemanusiaan.


*)Ditulis oleh: Kvman Al- Bacteria

Kritik & Oto-kritik atas Diri Sendiri

Kartun dengan tajuk “Delusional Hypocrisy” karya Kavehadel/Cartoonmovement.com.

 

Setidaknya, sudah dua tahun lebih saya secara lebih mendalam membaca literatur-literatur anarkisme, dan berusaha mendalaminya. Sebagai seorang remaja labil, dengan segera saja aku mulai tertarik dengan gagasan, ide, serta mimpi-mimpi yang diusungnya. Dan kupikir, ini adalah hal yang sangat wajar. Mengingat bahwa memang kita semua hidup dalam berbagai krisis, yang membuat setiap orang perlu (setidaknya) satu pegangan hidup, berupa ideologi, yang sayangnya, itu semua hampir-hampir tak berguna di hadapan waktu yang terus bergerak. Semuanya ini adalah proses. Tak ada yang pasti, selain kematian. Bahkan, kematian sendiri adalah proses sebelum jasad mulai membusuk dan terlupakan. Tak ada nilai yang pakem. Dan setiap upaya untuk itu adalah kesia-siaan.

Sejak awal, setiap orang yang mulai mengenal anarkisme pasti akan menyadari (baik dari diri sendiri maupun dari pihak luar), bahwa anarkisme itu melampaui segala spektrum politik. Dan sayangnya, banyak dari kita yang gagal memahami, dan justru kita sendiri yang malah memenjarakan apa yang kita perjuangkan, dan justru menempatkannya pada titik ideal yang semu. Padahal, kita sendiri yang sempat mengatakan bahwa anarkisme melampaui segala nilai.

Tak ada lagi idealisme hari ini. Selain itu hanya merupakan pelumas masturbasi bagi mereka yang mengalami krisis identitas. Tak pernah ada yang benar-benar seorang anarkis. Tak ada yang benar-benar punk. Kita semua hanyalah badut yang mencoba menjadi manusia di tengah-tengah tatanan yang mendambakan sebuah tontonan, impian, dan harapan; karena kita hidup dalam keadaan yang terlalu buruk. Mengutip Chekov, harapan adalah musuh utama seorang tawanan.

Dan kita adalah tawanan. Tawanan dari nilai-nilai buatan kita sendiri, karena yang kita mampu hanyalah mengkhayal. Dan setiap sayatan di pergelangan kita adalah apa yang selama ini kita sebut sebagai upaya pembebasan.

Anarkisme itu memuakkan. Semakin kita mengenalinya, maka akan semakin pula kita akan berlari menjauhinya. Pun, dengan ideologi-ideologi lain. Semuanya hanyalah candu. Semuanya menawarkan nilai-nilai lama yang telah membusuk yang direduksi dengan kekuatan zaman. Ia adalah agama baru, dan kita dipaksa tunduk atasnya! Hidup akan menjadi lebih baik ketika kita menganutnya, dan jadilah musuhku jika kalian berbeda jalan denganku. Sudah seberapa fasis kita semua?

Sulit disangkal, bahwa semuanya bersifat mesianik. Jargon-jargon usang seperti “bunuh idolamu”, merupakan satu dogma tersendiri yang dipaksakan, karena kita semua memanglah munafik.

Semuanya berusaha menjadi Tuhan atas diri orang lain, sedangkan ia lupa menaruh kunci pintu surganya, karena terlalu mabuk akan nilai-nilai palsunya.

Tuhan telah mati, jauh hari sebelum Nietzsche menyiarkan berita kematiannya. Tak ada lagi yang perlu diperjuangkan untuk segala tawaran malaikat akan indahnya surga. Pun, tak ada lagi yang perlu ditakutkan dari ajakan iblis pada bara neraka.

Kini, yang ada hanyalah Aku yang masih hidup hingga detik ini. Menikmatinya saja tak cukup, karena ia berdiri di atas nilai-nilai. Lampaui!

NB: Aku tak akan meminta maaf kepada siapapun maupun membuat pleidoi pembelaan atas tulisanku ini. Persetan kalian semua!


*)Ditulis oleh: Arif Gilang, Doi juga jualan buku, brot, larisin! :p.


 

Limpahan Risau & Racauan Gembira Bodat Clans Sepanjang 2019

JURNAL BODAT #1

_

 

Sudah setengah tahun bonus satu bulan kalender Masehi, lembaran ini kami gelar. Mungkin belum terlalu panjang juga tidak begitu sesak sketsa-sketsa ego keseharian digurat di atas papan ini.

Sebelumnya, kami hanyalah jalinan vandalis yang tak mempecundangi literatur sebab literasi adalah dope keseharian di sela rehat sambil meneruskan tempur pada galeri kemuakan hidup sehari-hari. Atas kesadaran itulah, ego kami tak hanya kami bagi pada kevandalan di lini-lini kota. Lini maya dengan gairah literaturnya tak lupa kami target untuk sekadar curi sempat di dalam bisingnya ujaran netizen yang tak kunjung henti krisis eksistensinya.

Pangsa kami juga bukanlah golongan tertentu meskipun subyek bernalar instan sangat mungkin mendekat-dekatkan kami pada golongan tertentu. Limpahan risau dan racauan gembira ini hanyalah akan kami sampaikan bagai para ego untuk menghargai egonya sendiri senikmat-nikmatnya.

Persetan manifesto, reguklah perayaan ini via lembaran yang tertaut pada link sebelum paragraf pembuka. Mari!

Desember 2019

[Bodat Clans. Jejalin ego perangkai jurnal.]

Nihilisme Bukan Ketiadaan Apa-apa

Hasil gambar untuk nihilism is not nothing"

 

Tanyakan kepada hampir semua orang, dan mereka akan memberi tahu Anda bahwa nihilisme adalah kepercayaan terhadap ketiadaan. Dipopulerkan oleh film, Big Lebowski, dan diabadikan oleh para akademisi dan filsuf yang malas, kesalahpahaman tentang nihilisme ini telah menyebabkan semacam demonisasi dalam lingkaran anarkis. Primitivist John Zerzan sering menyesalkan nihilisme, mengatakan hal-hal seperti “… Anda mulai memiliki orang-orang yang begitu nihilistik mereka bahkan tidak peduli lagi dengan kehidupan.” Bagi Zerzan, nihilisme sama sekali tidak peduli dengan kehidupan.

Bahkan seorang transhumanis yang menentang primitivisme, William Gillis mengatakan ‘Bisakah nihilis menjadi anarkis? ”Tidak. Sama sekali tidak. Nihilisme adalah filosofi masyarakat kami sosiopat yang menyeluruh. Semua yang kita perjuangkan. ” Jika kaum primitivis dan transhumanis dapat membenci nihilisme bersama dengan begitu aktif, mungkin itu menunjukkan bahwa mereka memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang diperkirakan. Mungkin nihilisme adalah hantu yang nyaman bagi kaum anarkis yang begitu mengakar dalam ideologi mereka sendiri primitivisme / transhumanisme / dll, sehingga ideologi-ideologi itu telah mulai menggantikan anarkisme?

Apakah nihilisme hanya berarti “tidak peduli tentang kehidupan?” Tentu saja tidak! Nihilis pertama disebut demikian karena “Ketiadaan” yang kemudian menjadi ada yang disukai di mata mereka. Ini tidak berarti bahwa orang-orang ini tidak percaya pada apa pun, atau tidak peduli dengan kehidupan. Justru sebaliknya! Bagi mereka yang akan membentuk dasar-dasar nihilisme, hidup itu cukup penting untuk menolak hal-hal yang akan berusaha membelenggu kehidupan. Nihilis pertama melihat sekeliling, tidak melihat apa pun yang mereka setujui, dan kemudian berangkat untuk menghancurkan hal-hal itu, sambil menciptakan struktur dan keadaan yang menyenangkan mereka. Nihilis pertama melihat sekeliling mereka, tidak menemukan apa pun yang mereka setujui, dan kemudian berangkat untuk menghancurkan hal-hal itu, sambil menciptakan atau membentuk struktur dan keadaan yang menyenangkan mereka. Nihilisme berasal dari orang yang ingin mewujudkan keinginan mereka melalui tindakan. Jika nihilisme hanyalah orang-orang yang tidak peduli, seperti klaim Zerzan, maka nihilisme tidak dapat membuat klaim telah membunuh sebuah tsar, dan hampir menjatuhkan sebuah kerajaan. Sejarah tidak mendukung klaim Zerzan.

Bisakah seseorang menjadi anarkis dan nihilis, seperti yang dinyatakan oleh Gillis bahwa itu tidak mungkin? Tentu saja! Bahkan, mulai dari Renzo Novatore, ke CCF, lalu ke FAI, kaum anarkis telah menjadi nihilis selama lebih dari seabad, dan hampir selama frasa “anarkisme” telah digunakan dalam politik. Gillis membuat klaim besar, sambil tidak mengetahui sejarah, atau dia mengklaim bahwa orang dan kelompok yang telah melakukan jauh lebih banyak dalam hal penciptaan anarki daripada dirinya sendiri bukanlah seorang anarkis, dan bahkan musuh anarkisme! Sekali lagi, kenyataan terbang di hadapan mereka yang akan membuat klaim palsu tentang nihilisme.

Gillis mengklaim bahwa nihilisme “adalah filosofi masyarakat sosiopat kami yang menyeluruh”. Kalau saja itu masalahnya! Kalau saja masyarakat kita berakar pada penolakan norma-norma sosial yang memaksa, dan serangan terhadap struktur yang menindas! Itulah yang dilakukan oleh para nihilis… Saya tidak yakin bagaimana hal itu menjadikan mereka musuh-musuh anarkisme.

Negasi dari setiap masyarakat, setiap kultus, setiap aturan dan dari setiap agama. Tapi saya tidak merindukan Nirvana, seperti saya tidak merindukan pesimisme putus asa dan tak berdaya dari Schopenhauer, yang merupakan hal yang lebih buruk daripada penolakan keras pada kehidupan itu sendiri. Punyaku adalah pesimisme yang antusias dan dionysian, seperti nyala api yang membakar kegembiraan vitalku, yang mengolok-olok penjara teori, ilmiah, atau moral apa pun. ”
– Renzo Novatore

Renzo Novatore, seorang anarkis nihilis Italia dari awal 1900-an, secara khusus memerangi gagasan nihilisme ini karena beberapa keputusasaan diperburuk, dan menolak nihilisme sebagai “pesimisme tak berdaya”. Novatore memahami bahwa penguasa dapat datang dalam berbagai bentuk, bahkan dalam bentuk “teoretis, ilmiah, dan moral.” Sebagai anarkis, bukankah kita harus waspada terhadap semua konsep sebagai penguasa potensial? Tidakkah kita seharusnya berusaha untuk secara nyata menentang apa yang memaksa kita? Haruskah kita tidak berusaha menciptakan keadaan yang lebih baik sesuai dengan keinginan kita? Bagi Tn. Gillis, tindakan-tindakan ini terlalu nihilis, yang mana membuatnya memegang anarkisme yang tampak tidak efektif. Saya berpendapat bahwa nihilisme adalah pujian, jika tidak melekat, pada anarkisme.

Jauh dari kepercayaan pada ketiadaan, nihilisme menantang kita untuk bertindak. Itu mendorong kita untuk menciptakan dunia yang ingin kita lihat, dan melakukannya sekarang. Seperti yang diambil oleh para nihilis awal dari Bakunin, “Hasrat untuk menghancurkan juga merupakan hasrat kreatif!” Nihilisme bukanlah akhir yang tanpa harapan, ini adalah awal yang cerah!

“(Nihilisme) berdiri seperti ekstrem yang tidak bisa dilampaui, namun itu adalah satu-satunya jalan sejati untuk melampaui; itu adalah prinsip awal yang baru.” – Maurice Blanchot

Jadi, mengapa ada upaya terpadu melawan konsep nihilisme dari berbagai sudut anarkisme? Mengapa beberapa orang begitu bersikeras menentang apa yang secara definitif, dan historis, sesuatu yang telah berurat berakar dalam anarkisme? Saya berpendapat bahwa justru karena cara tokoh-tokoh ini menempatkan diri mereka di antara anarkisme. Keengganan nihilisme untuk menerima dogma bertentangan dengan sikap dogmatis yang diambil oleh kaum anarkis seperti Gillis dan Zerzan. Setelah melukis diri mereka ke penjuru-penjuru sebagai transhumanis atau primitif, orang-orang seperti ini cenderung merasa terancam oleh nihilisme yang akan menolak transhumanisme atau primitivisme sebagai ideologi statis. Bagaimanapun, nihilisme menyerukan kelenturan gagasan yang bergerak seiring dengan kelancaran hasrat, dan tidak tertarik pada “penjara teoretis” yang mengklaim cara tertentu untuk melakukan anarki. Gillis dan Zerzan telah membangun diri mereka sendiri di atas seperangkat gagasan yang sangat spesifik, dan mereka memahami bahwa nihilisme menantang gagasan-gagasan ini yang mereka duduki di atas …. Entah karena itu, atau mereka benar-benar hanya tidak berpendidikan dan tidak tahu tentang asal-usul nihilisme yang sebenarnya.

Masyarakat mana pun yang Anda bangun akan memiliki keterbatasan. Dan di luar batas masyarakat mana pun, petualang yang susah diatur dan heroik akan berkeliaran dengan pemikiran liar mereka  — mereka yang tidak bisa hidup tanpa merencanakan gejolak pemberontakan yang baru dan mengerikan! Saya akan berada di antara mereka! ” — Renzo Novatore

Nihilisme bertentangan dengan preskripivisme dan dogma ideologi prafabrikasi. Ini mendorong tindakan, dan menggerakkan orang untuk menegasikan yang menindas mereka, sekaligus menciptakan keinginan mereka. Jauh dari menjadi penolakan pasif terhadap kehidupan, nihilisme berdiri tegak sebagai perayaan hidup yang aktif, atas kemampuan kita untuk menciptakan dan menghancurkan. Nihilisme memahami perlunya kewaspadaan konstan terhadap kalsifikasi yang terjadi di semua ideologi dan semua masyarakat. Tanpa kewaspadaan itu, bahkan kaum anarkis yang paling bersemangat pun rentan terhadap pemerintahan yang mereka klaim lawan.

“Dikalahkan di lumpur atau menang di bawah sinar matahari, saya menyanyikan kehidupan dan saya menyukainya! “- Renzo Novatore

 

[Dialihbahasakan oleh Arnit Jetta. yang bilang kalo insureksi bisa mengatasi insekyur]


Ditulis oleh No-Wing Anarchy
For an anarchism without wings, freeing ourselves from the left/right paradigm.