–
*)Ditulis oleh Keiji Nishitani. Pengkaji nihilisme.
–
Stirner membagi sejarah menjadi tiga periode yang ia bandingkan dengan tiga tahap dalam perkembangan individu; yaitu masa kanak-kanak, remaja, dan puncak kedewasaan. Anak-anak hanya hidup berkaitan dengan hal-hal di dunia ini; tidak mampu membayangkan apapun seperti dunia spiritual di luarnya. Dalam hal itu, dia adalah seorang realis.
Secara umum, anak-anak itu berada di bawah kendali kekuatan alam dan hal-hal seperti wewenang orang tua yang dihadapinya sebagai kekuatan alami dan bukan spiritual. Namun sejak ada dorongan awal pada anak-anak itu untuk belajar pada tanah yang mereka pijak dan melalui pengetahuan yang dia peroleh, dia bisa mengelak atau mendapatkan yang lebih baik dari kekuatan yang memerintahnya. Ketika anak anak itu tahu sesuatu itu benar, kebenarannya bukanlah beberapa yang independen transenden bagi dunia; itu tetap menjadi kebenaran di dalam banyak hal. Dalam pengertian ini, anak-anak hanya hidup di dunia realistis.
Sebaliknya, kaum muda (remaja) adalah seorang idealis. Dia merasakan keberanian untuk menolak hal-hal yang sebelumnya dia pernah merasa takut dan kagum. Dia bangga pada kecerdasannya dalam melihat hal-hal seperti itu dan menentangnya dengan sesuatu—seperti alasan atau hati nurani. Sikapnya adalah “spiritual”. Dalam diri pemuda itu, “kebenaran” adalah sesuatu yang ideal yang ada dengan sendirinya sejak awal, terlepas dari hal-hal duniawi; sebagai sesuatu yang “surgawi” yang itu bertentangan dengan semua hal “duniawi” yang tercela. Dari sudut pandang ini, pikiran tidak lebih dari ide abstrak tanpa tubuh; yaitu murni pikiran “logis”; ide “absolut” dalam pengertian Hegel.
Namun begitu berada di puncak kehidupan, kaum muda berubah menjadi egois. Dia tahu bahwa yang ideal itu tak ada. Alih-alih memandang dunia dari sudut pandang cita-cita, ia melihatnya seperti apa adanya. Dia berhubungan dengan dunia sesuai dengan perhatiannya untuk kepentingan diri. Anak-anak itu hanya memiliki minat yang tidak spiritual, bebas dari pikiran atau ide. Remaja hanya memiliki minat spiritual; tapi ketika dewasa, manusia memiliki kepentingan jasmani, pribadi, dan egoistik (leibhaftig, persönlich, egoistisch). Manusia menemukan dirinya sebagai roh dan kehilangan dirinya lagi dalam roh universal, dalam penyempurnaan, dalam roh kudus, dalam dirinya, dalam kemanusiaan; singkatnya dalam semua jenis cita-cita; manusia menemukan dirinya sebagai roh jasmani.
Pertumbuhan individu melalui tahapan realis, idealis, dan egois adalah proses menemukan dan mencapai diri sendiri . Pada mulanya, dirinya berada di belakang semua hal dan menemukan dirinya sendiri: sudut pandang roh. Dirinya sebagai roh mengakui dunia sebagai roh, tetapi diri kemudian harus pergi di belakang roh ini untuk memulihkan diri. Ini terdiri dari kesadaran bahwa diri manusia adalah pemilik/pencipta dunia spiritual, roh, pikiran, dan sebagainya.
Roh adalah penemuan diri yang pertama. Diri sebagai egois adalah penemuan yang kedua terhadap diri; dimana “diri” itu menjadi dirinya sendiri. Dengan tahap terakhir ini, diri dilepaskan dari ikatannya dengan dunia nyata ini dan ke dunia ideal di luar diri; bebas untuk kembali ke kekosongan di dasar hal-hal itu. Kekosongan dari ini dunia sudah diwujudkan dalam idealisme dan si egois melanjutkannya untuk melihat kekosongan dunia lain.
Egois mendasarkan dirinya pada “tidak ada” yang absolut dan ini bukan realisme atau idealisme. Di mana sebelumnya, “roh” dikandung sebagai pemilik-pencipta dunia ini; sudut pandang egois melihat diri sebagai pencipta, pemilik roh, dan dunia spiritual. Inilah yang dimaksud dengan “mengarahkan perhatian seseorang pada ketiadaan”; tidak dalam arti kekosongan, melainkan tidak ada yang kreatif (das schöpferische Nichts); tidak ada yang darinya saya sendiri sebagai pencipta menciptakan segalanya. Pada dasarnya, egoisme Stirner adalah gagasan Hegelian tentang negativitas absolut (absolute Negativität); dimana realisme dan idealisme digantikan.
Sejalan dengan perkembangan individu dari realisme ke idealisme dan egoisme, Stirner melihat perkembangan serupa dalam sejarah dunia. Dia membedakan antara yang “dahulu” dan “modern”; garis antara hal-hal itu ditarik pada saat kelahiran teisme. Di antara yang terakhir ini, ia juga membedakan “orang bebas” sebagai sebuah istilah umum untuk kaum radikal pada masa itu yang mengkritik pandangan agama dan moralitasnya. Menurut Stirner, bahkan “orang-orang bebas” ini belum luput dari dasar moralitas agama yang sedang mereka singkirkan dan karenanya belum menjadi egois sejati. Pada bagian berikutnya, kita akan melacak perkembangan ini dari paganisme ke teisme dan dari teisme ke liberalisme yang menghasilkan egoisme.
–
[Penerjemah: Fique Al-Botaqy. Sudah punya pacar.]