_
*)Ditulis oleh Pankaj Mishra. Esais politik asal India.
_
Ledakan protes di India terjadi atas undang-undang kewarganegaraan yang secara eksplisit mendiskriminasi 200 juta populasi Muslimnya. Pemerintah nasionalis-Hindu, Narendra Modi, telah menanggapi protes itu melalui polisi yang menembaki para demonstran dan menyerangi kampus-kampus universitas.
Protes global yang membara di jalanan; dari Sudan hingga ke Cile, Lebanon serta Hong Kong, akhirnya mencapai negara yang sebagian besar dari 1,3 miliar penduduknya berusia di bawah 25 tahun. Implikasi sosial, politik, dan ekonomi tak mungkin menjadi lebih serius.
Baru bulan lalu, mahasiswa di kampus Universitas Politeknik Hong Kong melempar bom bensin ke polisi, dan pada gilirannya, polisi menembakkan gas air mata, peluru karet, dan meriam air. Perlawanan kekerasan terhadap negara otoriter ini merupakan novel bagi Hong Kong. Gerakan Payung yang pertama kali mengekspresikan sentimen massa untuk otonomi yang lebih besar dari Beijing berjalan sangat damai pada 2014. Para juru kampanye demokrasi di Hong Kong saat ini juga telah melakukan perjalanan yang sangat jauh dari para pelajar Tiongkok yang menduduki Lapangan Tiananmen pada tahun 1989. Dan terhadap siapapun, mereka telah dibandingkan secara salah.
Para pelajar tahun 1989 sangat menghormati negara mereka. Dari foto-foto, para siswa yang sedang menuntut terlihat berlutut di tangga Aula Besar Rakyat dan tidak kalah jelasnya dengan gambar ikonik seorang pemrotes yang menghadapi sebuah tank.
Tidak hanya di Hong Kong, pengakuan terhadap otoritas negara sebagai juru pengadil yang pamungkas kini menghilang secara mudah; sama halnya dengan di India dan banyak negara lainnya. Hal tersebut digantikan oleh keyakinan bahwa negara telah kehilangan legitimasinya melalui tindakan kejam dan melakukan fitnah.
Hari ini, para pengunjuk rasa yang sangat muda lebih sangat berguna dibandingkan dengan demonstran mahasiswa Perancis di Paris era 1968. Yang disebutkan terakhir ini menduduki tempat-tempat kerja dan belajar, jalanan, dan alun-alun. Mereka juga memperoleh kekerasan polisi melalui barikade darurat dan menggunakan molotov cocktail.
Layaknya pengunjuk rasa hari ini, siswa-siswa Perancis menyeruak ke dalam kekerasan di tengah meningkatnya pertempuran jalanan pada tataran global. Mereka mengklaim menolak nilai dan pandangan generasi yang lebih tua. Mereka juga tidak dapat dengan mudah diklasifikasikan sebagai sayap kiri, sayap kanan, maupun sentris. Memang, kaum radikal Perancis saat itu membingungkan banyak orang karena mereka membenci Partai Komunis Perancis hampir sebanyak partai-partai kanan. Komunis Perancis akhirnya menolak siswa-siswa yang memprotes sebagai “anarkis”.
Peyoratif biasa seperti ini membingungkan antara anarkisme dan disorganisasi. Harus diingat, bahwa politik anarkis adalah salah satu tradisi politik dan intelektual tertua di dunia modern. Hari ini, hal ini menggambarkan perubahan baru yang radikal menjadi protes di seluruh dunia. Politik anarkis mulai muncul dari pertengahan abad ke-19 dan seterusnya; yang awalnya di masyarakat di mana otokrat yang kejam berkuasa—seperti di Perancis, Rusia, Italia, Spanyol, dan bahkan Cina—dan di mana harapan perubahan melalui kotak suara tampaknya sama sekali tidak realistis.
Kaum anarkis—yang salah satunya membunuh Presiden AS, McKinley, pada tahun 1901—mencari kebebasan dari apa yang mereka lihat sebagai cara produksi ekonomi yang semakin eksploitatif. Tetapi tidak seperti kritik sosialis terhadap kapitalisme industri, mereka mengarahkan sebagian besar energinya pada pembebasan dari apa yang mereka lihat sebagai bentuk tirani dari organisasi kolektif—yakni negara dan birokrasinya; yang dalam pandangan mereka bisa komunis maupun kapitalis. Seperti Pierre-Joseph Proudhon, pemikir pelopor anarkisme (dan kritikus Marx yang kuat), mengatakan bahwa, “Dipimpin harus dijaga, diperiksa, dimata-matai, diarahkan, digerakkan oleh hukum, diberi nomor, didaftarkan, diindoktrinasi, diceramahi, dikendalikan, diperkirakan, dinilai, dikecam, diperintahkan oleh makhluk yang tidak memiliki hak atau kebijaksanaan atau kebajikan untuk melakukannya.”
Bagi banyak kaum anarkis; negara, birokrasi, dan pasukan keamanan adalah penghinaan terdalam bagi martabat dan kebebasan manusia. Mereka berusaha untuk mencapai kebebasan demokratis dengan pengurangan drastis kekuatan negara berkepala hydra dan intensifikasi kekuatan individu secara simultan dari bawah melalui tindakan terkoordinasi.
Untuk kaum anarkis, demokrasi bukanlah tujuan yang jauh. Kecuali, apabila dicapai melalui partai politik yang terintegrasi secara vertikal, institusi impersonal, dan proses pemilihan yang panjang. Demokrasi adalah pengalaman eksistensial yang langsung tersedia untuk individu secara bersama-sama untuk menentang otoritas dan hierarki yang menindas.
Mereka melihat demokrasi sebagai kondisi pemberontakan permanen terhadap negara yang terlalu tersentralisasi dengan perwakilan dan penegaknya; termasuk birokrat dan polisi. Keberhasilan dalam upaya ini diukur dengan skala dan intensitas pemberontakan serta kekuatan solidaritas yang tercapai; bukan melalui konsesi apapun (selalu tidak mungkin) dari otoritas yang dihina.
Sama halnya seperti bagaimana para pengunjuk rasa saat ini memandang demokrasi sebagaimana mereka berjuang; tanpa banyak harapan kemenangan yang konvensional dengan melawan pemerintahan yang digerakkan secara ideologis nan kejam.
Biarlah tanpa ada keraguan. Konflik yang lebih terbuka dan tidak terselesaikan antara warga negara biasa dan pihak berwenang cenderung menjadi norma global daripada pengecualian. Tentu saja, ketidakpuasan militan hari ini tidak hanya lebih luas daripada akhir 1960-an. Ini juga berkonotasi dengan gangguan politik yang lebih dalam.
Negosiasi dan kompromi antara berbagai kelompok penekan dan kepentingan yang telah mendefinisikan masyarakat politik sejak lama tiba-tiba terasa aneh. Partai dan gerakan politik gaya lama berantakan, masyarakat lebih terpolarisasi daripada sebelumnya, dan kaum muda tidak pernah menghadapi masa depan yang lebih tidak pasti. Karena marah, individu-individu tanpa pemimpin memberontak terhadap negara-negara yang semakin otoriter dan birokrasi. Dari Santiago sampai New Delhi, politik anarkis tampaknya merupakan gagasan yang waktunya telah tiba.
_
[Penerjemah: Taufik Nurhidayat. Bukan peramal, sesekali prediksinya tepat.]