Wawancara Bookchin: Ekologi Sosial dan Munisipalisme Libertarian sebagai Solusi Berlingkungan serta Perdebatan Tantangannya

Kakek dalam gambar ini adalah Murray Bookchin.

*)Diwawancarai oleh David Vanek. Akademisi Masaryk University di Brno (Ceko). Editor majalah Sedma Generace; sebuah publikasi dari Friends of The Earth di Ceko.

Murray Bookchin lahir pada tahun 1921. Ia pernah terlibat politik sayap kiri selama tujuh dekade dan  menulis hampir dua lusin buku dengan beragam variasi subyek; meliputi ekologi, filsafat alam, sejarah, perkotaan, dan Kiri (khususnya Marxisme dan anarkisme).

Melalui esai panjangnya; “The Problem of Chemicals in Food” yang terbit tahun 1952, ia memperingatkan untuk melawan kimiawi pertanian dan lingkungan. Dengan ini dan tulisan-tulisan lainnya, ia membantu meletakkan dasar-dasar radikal gerakan ekologi modern. Dia membantu mempopulerkan berkebun organik, beragam pertanian, dan alternatif lain dari pertanian kimiawi.

Survei komprehensifnya mengenai penyakit lingkungan yang bertajuk “Our Synthetic Environment”, diterbitkan pada tahun 1962, beberapa bulan sebelum karya “Silent Spring” dari Rachel Carson. Pun, manifestasinya tentang ekologi politik radikal dalam “Ecology and Revolutionary Thougt”—yang ditulis pada tahun 1964—adalah manifesto yang pertama dalam bahasa apapun.

Sebagai seorang penulis dan pembicara, ia mempengaruhi gerakan antinuklir dan pembentukan awal gerakan politik Hijau yang terlaksana di Amerika Serikat dan Jerman. Dialah salah seorang pendiri Institute for Social Ecology—tempatnya mengajar setiap musim panas. Ia juga profesor emeritus pada Ramapo College di New Jersey. Saat ini, dirinya sedang menyelesaikan volume ketiga dari trilogi “The Third Revolution” yang membahas tentang sejarah kebesaran  Eropa & Revolusi Amerika.

Berikut petikan wawancara David Vanek; ekolog asal Ceko, kepada Bookchin pada musim panas tahun 2000 di Burlington, Vermont, Amerika Serikat.

 

***

 

Dalam buku-bukumu, kamu menggambarkan pengalamanmu era 1960-an & 1970-an, sama seperti yang dilakukan banyak pecinta lingkungan. Kamu juga menggambarkan pengalaman Depresi Hebat (Krisis Malaise Amerika) tahun 1930-an. Kenapa?

Saya keluar dari Kiri tradisional pada saat Revolusi Rusia masih dianggap peristiwa paling penting oleh sejarah sekarang ini. Padahal kapan saya lahir? Yakni pada Januari 1921 di Bronx, New York.

Saat itu, Revolusi Rusia dan perang saudara masih berlangsung. Saya sekeluarga terdiri dari kaum revolusioner Rusia. Bahasa pertama yang saya tahu adalah bahasa Rusia dan saya berbahasa demikian sampai usia dua atau tiga tahun. Tapi kemudian, orang tua saya berhenti berbicara kepada saya dalam bahasa itu sehingga saya tidak mau mengembangkan aksennya. Saya belajar bahasa Inggris di jalanan. Anda harus tahu bahwa ada dua bahasa di New York pada waktu itu karena hampir setengah populasinya terlahir di Eropa.

Saya memasuki gerakan komunis Amerika saat saya masih kecil. Sebagai orang Ceko, kamu akan tahu tentang Young Pioneers. Ya, saya masuk Young Pioneers pada awal 1930-an. Pada tahun 1934 ketika saya berusia tiga belas tahun, saya masuk Young Communist League (Komsomol). Segera setelah itu, ketika saya berusia empat belas atau lima belas tahun, saya putus dengan komunis karena garis depan populer mereka. Sementara, aku seorang ekstremis Kiri dan menentang apa yang aku anggap sebagai kolaborasi kelas dengan borjuasi.

Sewaktu pecah Perang Saudara Spanyol pada tahun 1936, saya kembali ke komunis karena tampaknya merekalah  yang satu-satunya berperang melawan Franco. Saya ingin bertarung di Spanyol tetapi saya terlalu muda. Segera setelah bergabung kembali dengan komunis, saya meninggalkan mereka lagi secara permanen.

Setelah SMA, saya tidak kuliah. Saya bekerja di pabrik pengecoran logam dekat New York. Saya berharap bahwa Perang Dunia Kedua akan berakhir dengan revolusi—seperti perang dunia yang pertama—dan ingin menjadi seorang Trotskis. Saat perang berakhir tanpa revolusi, saya menjadi kecewa dengan Marxisme ortodoks dan menyadari bahwa saya harus memikirkan kembali semuanya. Lalu saya keluar dari  kemiliteran dan bekerja di industri mobil; yang dimana para pekerjanya, sebelumnya berjiwa militan malah menjadi semakin bermental kelas menengah.

Tahun 1950, saya masuk RCA Institute; tempat saya belajar teknik elektronik. Akhirnya, saya melihat  banyak mesin  bisa menggantikan sebagian besar kerja keras manusia. Sebagai seorang sosialis, saya ingin mengurangi jumlah tenaga kerja. Saya berpemahaman bahwa orang harus memberi kepada masyarakat. Entahlah di bawah kapitalisme atau sosialisme, mereka bisa bebas untuk menjadi manusia yang kreatif; yang penting, ikutilah minat mereka sendiri dan penuhi bakat mereka sendiri.

Saya memutuskan untuk melampaui Marxisme dan menjadi sosialis libertarian. Tahun 1952, saya sudah menulis tentang kimiawi makanan. Saya mengembangkan kritik tentang hierarki dan menghubungkan perjuangan melawan hierarki dan dominasi untuk integritas perjuangan dunia alami. Saya mencoba menunjukkan bahwa ekonomi modern adalah interaksi yang bukan hanya antara buruh upahan dan pemodal; tetapi juga antara pekerja manusia dan dunia alami. Konsepsi filosofis saya dulu dan sekarang dialektis; berdasarkan Hegel tetapi tanpa pendekatan teleologis Hegel.

Saya bukan seorang teleologis. Saya tidak percaya bahwa ada perkembangan yang tidak terhindarkan. Tetapi pada saat yang sama, saya percaya beberapa perkembangan; seperti sosialisme tidak dapat dicapai tanpa perkembangan material yang memadai. Saya menyebut pendekatan saya “naturalisme dialektis”.

Saya membingkai pemahaman ekologi saya untuk memikirkan masalah urbanisasi; khususnya dislokasi antara kota dan desa. Saya menulis tentang alternatif teknologi dengan alasan bahwa teknologi harus dalam skala semanusiawi mungkin. Kemudian di atas segalanya, saya membawa gagasan demokrasi tatap muka dengan nama “munisipalisme libertarian” atau komunalisme.

Dalam ide-ide yang saya kembangkan, saya mempertahankan aspek-aspek Marx. Tetapi ini bukan Marxisme melainkan ide-idenya Marx itu sendiri & menggabungkannya dengan ide-ide anarkis pada umumnya tentang konfederalisme.

Tolong kasih tahu saya, bahwa saya harus pergi melampaui semua kecenderungan radikal dari masa lalu, menggabungkan elemen-elemen terbaik untuk sesuatu yang baru; pandangan yang saya sebut “komunalisme”.

Awal era 1960-an, saya terlibat dengan budaya tanding yang baru lahir. Anarkisme tampaknya hampir mati  sebagai ideologi maupun gerakan. Pada saat yang sama, kondisinya begitu sangat cair. Menjadi seorang anarkis saat itu; kamu bisa menjadi seorang sindikalis, kamu bisa menjadi egois, & kamu bisa menjadi apapun yang kamu inginkan Hal itu seperti cairan dan sering tanpa bentuk—seperti air.

Jadi, saya yang pertama mengedepankan pandangan baru saya di bawah rubrik anarkisme, dan yang kemudian mereka sebut “eco-anarchism”. Saya pikir itu adil untuk mengatakan bahwa tulisan saya  yang aktif pada ekologi dan anarkisme adalah tulisan politik radikal pertama pada ekologi. Hal tersebut menjadi agak populer di kalangan Kiri Baru.

Orang-orang tidak mengingat asal-usul ekologi radikal. Mereka mengira Ralph Nader atau mungkin Barry Commoner yang memproduksinya dan mempengaruhi Kiri Baru. Ini cukup keliru. Kenyataannya, sejarah sebenarnya dari ekologi radikal belum ditulis.

Dalam tahun-tahun senja saya sekarang—berusia 80 tahun, saya sudah berusaha mengevaluasi apa yang telah saya lihat dan lakukan dalam hidup. Saya bertanya pada diri sendiri: apa yang terjadi di abad ke-20? Dan apa yang akan mempengaruhi abad ke-21? Saya mendatangi beberapa ide yang sangat pasti tentang itu.

Jika kita akan mengubah arah masyarakat dengan cara libertarian, kita perlu membangun yang sistematis dan proyek yang koheren. Koherensi sangat penting; tidak hanya dalam politik dan organisasi, tetapi juga dalam ekonomi, sejarah, dan filsafat.

 

Frasa ringkas yang umumnya dapat dikaitkan dengan pekerjaan anda adalah “kita tidak dapat menyelesaikan krisis lingkungan tanpa menyelesaikan masalah sosial”. Secara khusus, kepada siapa kata-kata ini ditujukan ketika anda menulisnya untuk pertama kali? Apakah untuk pergerakan lingkungan saat itu?

Tidak. Itu terjadi tahun 1952 dan tidak ada gerakan lingkungan pada saat itu. Waktu itu hanya ada beberapa buku tentang konservasi dan kelebihan penduduk yang sebagian besarnya malah sangat reaksioner. Tidak ada gerakan berkebun organik kecuali untuk eksperimen bagi beberapa orang yang datang kemari dari Eropa dan khususnya Inggris.

Saya sangat percaya bahwa membuat beberapa perubahan kecil tidak akan menyelesaikan masalah ekologis. Sebaliknya, transformasi menjadi rasional, egaliter, dan libertarianisme masyarakat diperlukan. Ketika saya berbicara tentang energi matahari dan angin, saya tidak hanya mengusulkan hal itu sebagai teknologi alternatif. Saya mengusulkan itu sebagai bagian dari peralatan teknologi masyarakat komunal baru.

 

Apa yang anda anggap sebagai prasyarat yang diperlukan untuk sebuah transformasi?

Kupikir, hal terpenting yang kita hadapi hari ini adalah untuk meningkatkan kesadaran. Amerika bisa menjadi contoh yang baik. Kecenderungan watak dan warisan budaya orang-orang Amerika adalah aktivis. Mereka tidak berpikir terlalu jauh di muka. Mereka bertindak dan kemudian mencari alasan mengapa mereka bertindak. Mereka tidak terlalu memikirkan masa lalu atau masa depan; mereka hanya berpikir soal di sini dan sekarang.

Merekalah “insinyur”. Mereka tidak menggeneralisasi & tidak mencari koneksi. Di Amerika, adalah tugas kami untuk mengeluarkan kesalahan-kesalahan ini. Orang-orang kami harus tahu apa yang terjadi dalam sejarah dan filosofinya apa—sehingga mereka bisa mendidik. Mereka harus memiliki sudut pandang. Mereka tidak bisa hanya melawan sesuatu; mereka harus menawarkan alternatif. Dan mereka harus belajar taktik; mereka harus punya metodologi.

 

Dalam metodologi ini, apa yang anda pikirkan tentang kontradiksi; yang sering dinyatakan antara aksi langsung dan metode politik lobi, reformasi legislatif, dan sejenisnya? Apakah Anda lebih suka melobi, misalnya, untuk kerja masyarakat?

Saya memiliki pengalaman panjang dan menyakitkan dengan melobi. Bertahun-tahun lalu, saya aktif dalam gerakan antinuklir yang tidak hanya mengokupasi tanaman dalam aksi langsung tetapi juga mengedarkan petisi dan kemudian membawanya ke anggota kongres lokal. Biasanya, hasilnya tidak terlalu baik.

Di Amerika Serikat hari ini, ada Partai Demokrat dan Partai Republik. Datangilah mereka, mereka akan menjanjikan apapun untukmu agar bisa terpilih. Mereka tidak akan memberimu banyak hal jika itu tidak membantu kelas yang berkuasa. Terkadang, mereka membuat konsesi kecil; mereka akan memberimu sepuluh hektar “hutan belantara” tapi kemudian mereka akan memotong sisa hutan. Itulah yang biasanya dicapai lobi.

 

Kamu menyebut pendekatanmu sebagai anarkisme. Apa yang kamu maksud tentang konsep tersebut?

Hari ini, saya lebih suka kata “komunalisme” yang saya maksud sebagai libertarian. Ideologi itu, seperti yang saya katakan, termasuk yang terbaik dari tradisi anarkis serta yang terbaik dalam Marx. Saya pikir bukan Marxisme atau anarkisme saja yang memadai untuk zaman kita. Banyak di antara keduanya tidak lagi berlaku untuk dunia hari ini.

Kita harus melampaui ekonomisme Marx dan melampaui individualisme yang terkadang laten—terkadang eksplisit dalam anarkisme. Ide-ide Marx, Proudhon, dan Bakunin terbentuk pada abad ke-19. Kita membutuhkan ideologi libertarian Kiri untuk waktu kita sendiri, bukan untuk hari-hari Revolusi Rusia dan Spanyol.

Masalah utamanya adalah mengubah struktur masyarakat sehingga orang-orang memperoleh daya. Arena terbaik untuk melakukan itu adalah munisipalisme; antara kota besar, kota kecil, & desa dimana kita memiliki kesempatan untuk membuat demokrasi tatap muka. Kita dapat mengubah pemerintahan lokal menjadi semacam majelis populer dimana orang-orang dapat mendiskusikan dan membuat keputusan tentang ekonomi dan masyarakat tempat mereka tinggal.

Ketika kita mendapatkan kekuatan di lingkungan itu—di tingkat satu kota kecil atau kota besar, kita bisa mengonfederasi semua majelis dan kemudian konfederasi kota-kota itu bisa menjadi pemerintahan populer. Tidak ada negara (yang merupakan instrumen aturan kelas dan eksploitasi) tetapi sebuah pemerintahan dimana orang-orang memiliki kekuatan. Inilah yang saya sebut “komunalisme” dalam arti praktis. Seharusnya tidak bingung dengan komunitarianisme yang mengacu pada proyek inisiasi kecil seperti koperasi makanan, garasi, dan percetakan. Proyek begini sering menjadi kapitalistik ketika mereka tidak hancur atau malah jatuh dalam persaingan dengan perusahaan lain.

Orang tidak akan pernah mencapai masyarakat demokratis tatap muka semacam ini secara spontan. Gerakan serius dan berkomitmen diperlukan untuk memperjuangkannya. Dan untuk membangun gerakan itu, kaum Kiri radikal perlu mengembangkan sebuah organisasi yang dikendalikan oleh basis sehingga kami tidak menghasilkan Partai Bolshevik lain. Itu harus dibentuk perlahan di basis lokal. Itu harus diorganisir secara konfedensial dan bersama-sama dengan majelis populer. Hal itu akan membangun oposisi terhadap kekuatan yang ada; seperti aturan negara dan kelas. Saya menyebut pendekatan ini “munisipalitas libertarian”.

 

Beberapa kritik mengatakan bahwa anda sering tertarik pada konsep yang levelnya lebih rendah tentang munisipalitas dan anda tidak banyak mengatakan tentang bagaimana menghubungkan berbagai munisipal berbeda ke struktur yang lebih tinggi semacam konfederasi.

Itu samasekali tidak benar. Tujuan untuk mengonfederasi majelis populer adalah dasar bagi munisipalitas libertarian. Tulisan saya untuk subyek selalu menyertakan panggilan untuk konfederasi. Dari konfederasi lokal harus menjadi konfederasi regional dan kemudian menjadi konfederasi nasional atau konfederasi kontinental. Tetapi kekuatannya harus selalu berada di majelis populer dan keputusan akhir harus selalu datang dari bawah; yaitu dari majelis rakyat. Saya harus menambahkan, jikalau ada siapapun yang tidak menghadiri sidang dan hanya mengatakan, “Saya bukan warga negara, saya tidak peduli”, maka jika mereka tidak mau hadir, biarkan mereka hidup dengan keputusan majelis.

Munisipalitas membentuk lokus arena kehidupan yang benar-benar politis tetapi tidak ada munisipal yang bisa “otonom”. Otonomi adalah mitos. Kamu tidak bisa mencapainya karena setiap orang bergantung pada orang lain dan masing-masing munisipal saling tergantung pada yang lain. Kita semua saling bergantung; sama seperti ego individual kita dibentuk pada tingkat yang luas oleh budaya; bukan terlahir tiba-tiba atau terbentuk sendiri entah seperti bagaimana caranya Max Stirner menyarankan. Saya juga menolak gagasan totalitarian kejam dari gagasan ketergantungan total pada negara. Saya ada untuk interdependensi di antara orang yang mengatur diri sendiri dalam majelis.

Demokrasi adalah sesuatu yang sering bermasalah dengan anarkisme. Ini adalah suatu area dimana saya berbeda dengan anarkis otentik yang menekankan ego individu dan pemenuhan keinginannya sebagai pertimbangan utama. Banyak anarkis menolak demokrasi sebagai “tirani” mayoritas atas minoritas. Mereka berpikir bahwa ketika suatu masyarakat membuat keputusan dengan suara terbanyak, itu melanggar “otonomi” dari ego individu yang memberikan suara dalam minoritas. Sepertinya mereka berpikir begitu bahwa entah bagaimana caranya mereka menentang keputusan karena mereka merasa “otonom”—tidak harus mengikutinya.

Pikir saya, ide semacam itu naif dan menjadi resep bagi kekacauan terburuk. Keputusan, sekali dibuat, harus mengikat. Tentu saja, minoritas harus selalu memiliki hak untuk menolak keputusan mayoritas dan dengan bebas menyuarakan pandangan mereka sendiri. Mayoritas tidak memiliki hak untuk mencoba mencegah minoritas dari menyuarakan pandangannya dan berusaha memenangkan dukungan mayoritas untuk mereka.

Pertanyaannya adalah, apa cara paling adil untuk membuat keputusan komunitas yang luas? Saya pikir suara terbanyak bukan hanya yang paling adil tetapi juga satu-satunya cara yang layak bagi masyarakat demokratis tatap muka untuk berfungsi dan keputusan yang dibuat dengan suara terbanyak harus mengikat semua anggota masyarakat; apakah mereka memilih mendukung suatu tindakan atau menentangnya.

Tidak seperti kebanyakan anarkis, saya tidak berpikir bahwa individu di munisipal tertentu harus dapat melakukan apapun yang ingin dilakukannya setiap saat. Kurangnya struktur dan institusi menyebabkan kekacauan dan bahkan sewenang-wenangnya kezaliman. Saya percaya pada hukum dan masyarakat masa depan yang saya impikan juga memiliki konstitusi. Tentu saja, konstitusi harus menjadi produk pertimbangan hati-hati oleh orang-orang yang diberdayakan. Itu akan dibahas dan dipilih secara demokratis. Tetapi begitu orang-orang memilikinya dan meratifikasinya, itu akan mengikat semua orang. Bukan kebetulan secara historis, bahwa orang-orang yang tertindas—yang menjadi korban perilaku sewenang-wenang orang kelas penguasa—menuntut konstitusi dan hukum yang adil sebagai obat. Seperti orang-orang yang dipanggil “Baron” oleh Hesiod pada masa abad ke-7 SM di Yunani.

 

Bahaya-bahaya macam apa yang anda temukan dalam gagasan otonomi atau swasembada?

Bahaya utamanya adalah parokialisme. Beberapa orang mungkin memutuskan itu karenamereka ingin mengecualikan orang dari ras, etnis, seksual,  preferensi tertentu atau sejenisnya. Amerika Selatan, misalnya, sudah lama menginginkannya; membiarkan orang kulit hitam hidup di tengah-tengahnya sebagai budak atau pelayan kasar.

Saat ini, orang-orang di banyak negara Eropa ingin mengecualikan imigran yang tiba dari luar Eropa. Gerakan kami harus melawan parokialisme dengan kosmopolitanisme sebagai suatu pandangan yang menegaskan dan bahkan merayakan saling ketergantungan semua orang.

Saya pikir bahwa konfederasi yang bisa diterapkan pada akhirnya harus sangat luas dan mencerminkan saling ketergantungan munisipal. Beberapa kaum anarkis abad ke-19 yang menulis tentang konfederasi membiarkan terbukanya sebuah celah besar. Proudhon dan Bakunin—dalam tulisan mereka—mengizinkan kemungkinan bahwa satu komunitas dapat memilih keluar dari konfederasi jika memang diinginkan. Masyarakat bisa mengatakan kepada sisa konfederasinya,”Saya tidak suka apa yang anda lakukan, saya akan pergi”. Tapi saya tidak setuju bahwa ini harus langsung diizinkan. Setiap munisipal memiliki tanggungjawab yang mendalam dan mendasar kepada setiap munisipal lainnya pada sebuah konfederasi.

Saat suatu komunitas bergabung dengan konfederasi, ia terikat oleh sebuah kompakan (sebuah konstitusi). Maka seharusnya tidaklah bisa pergi secara sepihak hanya karena tidak ingin melakukan sesuatu yang mayoritas. Apabila konfederasi telah setuju untuk melakukannya, seharusnya komunitas tidak bisa mengatakan, misalnya, “Kami ingin mengecualikan orang kulit hitam, tetapi anda di konfederasi akan menaruh mereka kepada kami. Jadi, kami akan menentang anda dan meninggalkan konfederasi”.

Partisipasi itu mengikat karena kita saling ketergantungan dan tidak dapat dipecahkan. Satu-satunya cara komunitas dapat meninggalkan sebuah konfederasi, menurut pendapat saya, akan terjadi ketika mayoritas di konfederasi bertindak sebagai suatu majelis besar dan mengatakan, “Semua ada benarnya. Oke, pergilah jika kamu mau, tetapi,jangan berharap kami dapat membantumu saat kamu butuh bantuan”.

 

Jadi, tak ada kisah desentralisasi sepenuhnya?

Saya jelas tidak setuju dengan fetisitas desentralisasi yang menggagas bahwa desentralisasi sendiri memiliki semacam kualitas mistis. Hal besar belum tentu buruk dan hal kecil tidak tentu bagus.

Kecil tidak selalu cantik. Unit kecil terkadang bisa bersifat destruktif dan reaksioner. Dunia feodal Eropa dulu, sebagian besar terdesentralisasi tapi itu diracuni oleh banyak tirani.

Ukurannya adalah murni pengukuran fisik. Desentralisasi harus melibatkan ekonomi, teknologi, struktur politik, konfederalisme, dan sebagainya. Itu harus ditempatkan dalam konstruksi komunalistik. Keuntungan dari desentralisasi adalah memasukkan arena sipil dan komponennya kepada manusia dan skala yang familiar.

 

Dalam buku-bukumu, kamu mengembangkan silsilah hierarki sejarah. Seperti banyak antropolog, apakah kamu pada awalnya menempatkan masyarakat egaliter sama seperti halnya sautu masyarakat bebas kelas ala Marx?  Apakah ini semacam “Zaman Keemasan Bookchinian”?

Benar-benar tidak! Saya tidak ingin kembali ke masa lalu. Saya bukan seorang primitif. Itu menjadi sumber keprihatinan besar bagi saya bahwa banyak kaum anarkis di Amerika Serikat adalah kaum primitif. Mereka percaya bahwa teknologi adalah penyebab utama masalah kita. Seseorang memiliki kesan, kadang-kadang, mereka ingin kembali ke alat batu dan ekonomi mencari makan.

Saya pikir penyebab utama masalah kita terletak pada hubungan sosial dalam kapitalisme, negara-bangsa dan dalam komodifikasi semua hal-ha,l dan hubungan. Jika kita mengatur kehidupan sosial bersama lewat jalur humanistik, teknologi bisa menjadi salah satu solusi yang utama untuk masalah kita. Kaum primitif percaya bahwa kita memiliki terlalu banyak peradaban. Saya yakin kita tidak cukup beradab. Beberapa primitivis bahkan menentang “masyarakat”. Tetapi saya berpikir bahwa tanpa masyarakat, kamu bukanlah manusia.

Mereka percaya pada otonomi pribadi, saya percaya pada kebebasan sosial. Mereka tampaknya percaya bahwa ada “manusia natural”, “ego yang tidak rusak”, dan peradaban telah diracuni. Saya percaya persaingan itu dan hubungan kelas dan hierarki lainnya telah merusak masyarakat. Dan kita, sebaliknya, membutuhkan peradaban koperasi.

 

Jadi, kamu mengadopsi perspektif Marx—atau lebih tepatnya Hegel, bahwa sejarah pada dasarnya adalah sesuatu yang sangat diperlukan dan positif sebagai sebuah proses kesempurnaan dan pembelajaran budaya, bukan proses kemunduran dan korupsi?

Sekali lagi, ya dan tidak. Mari kita kesampingkan kata “kesempurnaan” sejak hanya para dewa yang sempurna. Sebenarnya, hal-hal yang sangat mengerikan telah terjadi di masa lalu dan sedang terjadi hari ini. Memang perlu untuk melepaskan diri dari animalitas yang kasar (kurang beradab) dan ini masih belum sepenuhnya tercapai. Seperti yang saya tulis pada “Reenchanting Humanity”, animalitas pada dasarnya adalah ranah adaptasi dengan apa yang ada dan kehidupan binatang ditandai oleh banyak penderitaan bahkan tanpa upaya manusia.

Orang bisa dan harus melampaui kebinatangan dan menuju ke dunia budaya. Manusia bisa berinovasi. Mereka dapat menciptakan dan mengembangkan. Teori kerja Marx sangat berguna pada tataran ini karena teori tersebut memahami tenaga kerja bukan hanya sebagai sumber nilai melainkan di atas semua proses pembentukan diri dan sosial. Melalui kerja, kata Marx, manusia melampaui batas kebinatangan belaka. Orang mengambil kondisi dunia dan berpotensi—setidaknya—membentuk mereka lebih dan lebih dari memenuhi kebutuhan manusia.

Akan tetapi, mendefinisikan kebutuhan manusia selalu sangat problematis. Mereka jelas dikondisikan secara historis. Dalam masyarakat sebelumnya di sebagian besar dunia dimana sumber daya langka, orang-orang memang sangat miskin dan kebutuhan dasar mereka dapat dipenuhi hanya dengan kerja keras.

Zaman lampau, bahkan misalnya, piranti sumber penghangat untuk iklim bumi utara sudah akan terbayangkan atau malah kemudian dianggap sebagai kemewahan luar biasa. Orang-orang sering memiliki perapian di hanya satu ruangan di rumah mereka. Tapi hari ini, sumber penghangat dianggap sebagai kebutuhan dasar. Masih dalam komoditas masyarakat kita, hal-hal lain yang dianggap “kebutuhan” sebenarnya hal-hal sepele yang konyol.

Saya khawatir dengan potensi kelangkaan masyarakat yang produksinya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan dasar kehidupannya. Dan jika masyarakat itu rasional, mereka bisa mendistribusikan kembali sumber daya kami yang berlimpah begitu sehingga dapat hidup dengan nyaman tanpa terlalu banyak bekerja dan sangat sedikit bekerja keras. Kita dapat memiliki surga sejati dan meminimalkan penderitaan di dunia sosial dan bahkan dunia natural.

Saya tidak tahu apa “masyarakat ideal” itu. Tapi ada pertanyaan sosial yang akhirnya harus diselesaikan; yakni tentang dominasi manusia dan eksploitasi kerja manusia.

Untuk mencapai masyarakat yang bebas dari dominasi dan eksploitasi, kita membutuhkan tingkat perkembangan ekonomi tertentu. Saya setuju dengan Marx pada hal ini. Masyarakat yang bebas dan rasional akan memiliki ekonomi dan prasyarat teknologi.

Saya tidak berpikir bahwa orang dapat mempunyai masyarakat yang baik di lembah Gurun Sahara dengan tidak lebih dari beberapa unta. Di sisi lain, saya tidak berpikir kehidupan yang baik menuntut kita memiliki perkebunan yang megah, sepuluh kolam renang, dan lima puluh set televisi. Beberapa libertarian mungkin keberatan, “Ya, jika seseorang menginginkan sepuluh kolam renang, mereka harus diizinkan memilikinya. Anda seharusnya tidak mencoba untuk menghentikan mereka. Mereka otonom.”

Saya akan menjawab kebutuhan yang dapat diterima itu harus ditentukan oleh masyarakat secara keseluruhan; yakni munisipalitas. Sebuah bengkel perakitan di sana dapat mengatakan, “Dua pasang sepatu sudah cukup. Anda tidak perlu sepuluh.” Mereka dapat mengatakan bahwa batas tertentu sudah cukup—yang tidak kita butuhkan adalah langit.

Apakah ada kemajuan dalam masyarakat manusia? Tentunya iya dan tidak. Tetapi tanpa bangkitnya peradaban dan sejarahnya, bahkan dengan segala kengeriannya, manusia hidup akan menjadi sedikit lebih dari sekedar binatang. Maafkan aku, tapi saya tidak ingin hidup di dunia yang stagnan dan hampa.

 

Apa pendapat anda mengenai gagasan kesederhanaan sukarela?

Kita seharusnya tidak memuat diri kita sendiri dengan begitu banyak barang dan menghabiskan hidup kita untuk memikirkan bagaimana kita harus memiliki lebih banyak segalanya. Kesederhanaan sukarela sering membuat agama keluar dari kehidupan virtual kemiskinan.

Semakin sedikit yang dibutuhkan, tampaknya dikatakan, semakin baik. Itu pernyataan sederhana. Semakin kita membudidayakan kebutuhan secara rasional; maka kita semakin baik dan memang kita semakin manusiawi. Kita bisa punya waktu lama untuk diskusi tentang apa maksudnya yang “dibudidayakan” dan “rasional”. Intinya adalah kita perlu berkembang.

Saya tidak ingin hidup seperti biarawan tetapi suka berpengetahuan dan berbudaya. Dan hari ini, hal itu membutuhkan pemenuhan banyak kebutuhan; seperti buku, rekaman musik, makanan yang layak, pakaian yang sesuai, dan sejenisnya. Saya tahu apa artinya hidup dalam kemiskinan dan hidup tanpa rumah yang aman. New York pada 1930-an bukanlah sebuah “bola” dan saya bingung oleh orang-orang yang memilih untuk hidup dengan teknologi tujuh puluh tahun lalu atasnama “kesederhanaan sukarela”.

 

Anda juga sangat kritis terhadap konsep biosentrisme. Saya menganggap alam sebagai evolusi alami; evolusi di atas segala organik kehidupan dan potensi yang mungkin diaktualisasikan. Saya melihat potensi subjektivitas aktualisasi dan berpikir di alam dunia bahwa manusia berpotensi menjadi alam yang disadari oleh diri sendiri. Jadi saya tidak pernah bisa menjadi biosentris. Sebenarnya saya pikir manusia masih sebagai produk paling luar biasa dari evolusi alami. Sepertinya Aristoteles berpengaruh di balik ide-ide Anda.

Ya, seperti kebanyakan filsuf sejarah ide-ide. Saya sudah menaruh penghormatan besar kepada Aristoteles; terutama karena pandangannya meresap dengan gagasan pertumbuhan dan terbukanya potensi dan pengembangan. Tetapi karena keterbatasan waktu, keseluruhan konsep Aristoteles tentang alam adalah statis: ia tidak memiliki konsep tentang evolusi alam. Dia menganggap sistem kehidupan hierarkisnya sebagai suatu pemberian.

Hegel, pada abad kesembilan belas—merupakan seorang pemikir besar lain yang sedang berkembang—tahu tentang teori evolusi alami walaupun dia meninggal beberapa dekade sebelum “The Origin of Species” diterbitkan. Tapi dia menolaknya lewat volume kedua dari  “Encyclopedia of Philosophical Sciences”.  Hari ini, kita punya manfaat mengetahui tentang evolusi organik dan dapat memungkinkannya untuk menginformasikan pemikiran kita.

Tolong, izinkan saya menekankan satu hutang yang harus selalu saya akui. Marx mengajari saya untuk mencari koneksi antara fenomena, untuk mensintesis, dan untuk menempatkan masalah kemanusiaan dan alam dan interaksinya ke dalam konteks filsafat dan sejarah. Konsep saya tentang dunia alami dengan demikian evolusioner dan dinamis.

Pada tahun 1950-an, saya membawa pemahaman saya untuk membersamai pemahaman Aristoteles, Hegel, dan filsuf lainnya tentang masalah tempat umat manusia di dunia alami. Bagi saya, manusia berpotensi untuk pemenuhan evolusi alami Inilah cara saya mendefinisikan kata  “nature”. Pemikiran saya tentang masalah ini memuncak pada karya “The Ecology of Freedom” dan buku-buku saya tentang filsafat dan sejarah. Bagi saya, itu selalu menjadi pertanyaan tentang sintesis dan di atas segala gagasan tentang kemanusiaan.

Apa yang memberi makna alami? Saya tidak ingin hanya bersama mammoth atau dinosaurus di planet ini. Potensi yang dimiliki manusia munculnya selalu laten dalam evolusi alami. Kerusakan selalu berkisar “20:20”. Tetapi intinya adalah: manusia ada di sini dan kita harus jelaskan apa yang ada dalam evolusi alami yang menyebabkan mereka berevolusi.

 

Tidakkah kau takut jatuh ke dalam antroposentrisme? Bahkan jika kamu tidak mengatakan bahwa bumi dibuat untuk manusia, kamu mempertahankannya sebagai manusia; sebagai makhluk paling berharga di bumi. Saya bisa membayangkan banyak orang memanggil ini “antroposentrisme”.

Tentu saja. Masyarakat tempat kita hidup dibuat oleh kaum borjuis dan penggunaan industri modern. Kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kita hidup di dunia kapitalis. Bertentangan dengan apa yang diyakini Marxisme, kapitalisme tidak berantakan dan itu sangat stabil. Berhubung, putaran depresi biasa terjadi setiap sepuluh tahun atau lebih.

Tetapi sekarang belum ada depresi dalam beberapa dekade. Lenin meramalkan bahwa kapitalisme memasuki masa perang dan revolusi sosialis. Mungkin sudah dilakukan antara 1914, 1945, atau 1950, tetapi tidak dilakukannya lagi hari ini. Paling tidak, tidak dalam skala yang sebanding dengan perang dunia abad kedua puluh.

Apa yang dilakukan kapitalisme adalah menciptakan lingkungan sintetis; salah satunya “rimba raya” lebih menjadi metafora daripada kenyataannya. Hal ini benar-benar terjadi, terutama di Amerika Serikat yang memiliki sejarah panjang berurusan dengan hutan belantara. Di sini, kerimbaan adalah format konsep berbudaya.

Hari ini, para ekolog Amerika menyanyikan pujian tentang hutan belantara—yang mereka maksud sebagai tempat-tempat seperti Taman Nasional Glacier dan Taman Nasional Olympic. Namun, para Indian telah tinggal dan mengubah tempat-tempat itu jauh sebelum orang Eropa datang sejak ribuan tahun lalu. Bahkan, manusia adalah makhluk yang mulai mengubah planet sejak era waktu homo erectus dan mungkin bahkan lebih awal. Mereka mulai membakar hutan secara sistematis setelah mereka belajar membuat dan menggunakan api.

Sekarang, khususnya, konyol untuk percaya pada mitos tentang hutan belantara. Tidak ada daerah hutan belantara lagi. Ya, binatang buas sekarang melayang ke kota-kota; rusa datang ke Burlington dan serigala pergi ke Nome (Alaska). Hewan liar mencari makanan di tong sampah urban. Ada beruang kutub di Teluk Hudson, Churcill, jumlahnya sekitar 700 ekor. Mereka semua berkumpul di sana, memecahkan tong sampah terbuka, dan mencoba membuka pintu rumah.

Daerah belantara hilang dan menjadi cadangan. Seluruh planet telah berubah dan sekarang gunung es kutub dan gletser sedang mencair. Dunia sintetis yang sedang diciptakan bertentangan dengan harapan ekologi dalam tentang kembali ke sifat purba.

Akankah sains dan teknologi dapat menjaga kita dengan kehancuran ini; mencegah kerusakan terburuk dan membuat dunia sintetis ini berkelanjutan? Masalahnya tergantung pada keseimbangan.

Saya tidak tahu apa-apa lagi. Hal-hal yang tampaknya tak terbayangkan 40 tahun lalu, kini telah ada. Para ilmuwan telah memetakan genom manusia. Mereka telah menemukan rahasia hidup—gen, genetika, dan bioteknologi. Mereka telah menemukan rahasia materi—energi nuklir dan nukleonik. Mungkin generasi anda atau anak-anak anda akan menyaksikan inovasi yang akan terjadi untuk mencegah dunia sintetis menjadi tidak dapat dihuni.

Seluruh pertanyaan ekologis siap untuk diperjuangkan hari ini dan orang harus fokus pada hal utama: mencoba membuat yang bebas, rasional, dan ekologi yang berorientasi masyarakat. Kita harus membangkitkan kesadaran agar alasan dan pandangan ekologis akan menang. Ini secara mendalam begitu sosial dan saya harus menambahkan permasalahan politik. Dan kita harus membuat gerakan yang bersifat edukatif dan politis, yang memiliki filosofi nyata, konsep sejarah yang nyata, ekonomi nyata, politik nyata, dan kepekaan ekologis yang nyata.

Gerakan ini harus berbicara dengan orang, dengan asumsi—dan ini adalah masalah besar—pikiran mereka yang tidak dihancurkan oleh kapitalisme. Orang harus belajar dari sejarah dan memahami apa yang mereka miliki dapat berlaku dari masa lalu hingga sekarang dan masa depan. Kita harus punya sudut pandang kreatif. Kita tidak bisa hanya melawan sesuatu. Kita harus melakukannya; menawarkan alternatif, rasional, dan ekologis, serta menawarkan cara untuk mengubah masyarakat ini. Pada dasarnya jika kita ingin menyelesaikan krisis ekologi hari ini, kita harus membangun budaya politik baru.

Sayangnya, komodifikasi tidak hanya mengubah segalanya menjadi obyek pertukaran; itu juga mengubah cara orang berpikir. Ada pertanyaan terkenal di Amerika hari ini, “Apa intinya?”. Itulah bahasa akuntansi bisnis yang membuatku takut bahwa orang berpikir seperti itu.

 

Orang-orang suka berinvestasi kepada anak-anak mereka?

Ya, khususnya mengedukasi mereka untuk pergi mencari uang.

 

Kamu menulis bahwa gerakan era 1960-an menentang komodifikasi. Dan sementara, gerakan 1960-an begitu radikal dan gerakan 1970-an begitu reaksioner. Benarkah?

Relatif demikian dibandingkan dengan saat ini. Dalam hal potensi mereka untuk membuat perubahan sosial, gerakan 1960-an lebih menarik daripada 1970-an. Pada 1960-an, ekologi tampaknya berkembang menuju sebuah pandangan revolusioner—menuju ekologi sosial. Budaya yang ditandinginya—itu tampaknya—adalah hierarki dan elitisme yang begitu menantang. Feminisme mengekspresikan oposisi terhadap hierarki. Keinginan utopis disukai secara manusiawi dan oleh komunitas ekologis.

Namun pada 1970-an, segalanya berubah. Budaya tanding melayang ke New Age. Banyak feminisme berubah menjadi gerakan lobi untuk memperoleh posisi tinggi perempuan  dalam korporasi dan militer. Perubahan menjadi hampir tidak progresif.

Tahun 1960-an, pada dasarnya ditelan oleh kapitalisme. Apakah yang revolusioner hari ini tentang mengenakan jenggot dan mengenakan rambut panjang? Tidak.

Banyak radikalis tahun 1960-an telah menjadi profesor dan mengajar posmodernisme. Dan ekologi sosial yang didirikan pada 1960-an dan sungguh radikal malah sebagian besar digantikan oleh ekologi dalam yang biosentrismenya naif dan menurut saya paling regresif.

 

Di tanah airku, ekologi dalam sering disebut “gerakan sangat radikal”. Saya tahu bahwa “radikal” tidak selalu sebaliknya (reaksioner). Anda bisa menjadi reaksioner secara radikal. Maksud saya, bahwa ekologi dalam tidak selalu diambil sebagai gerakan untuk melestarikan politik status quo.

Ini bukan pertama kalinya pendapat populer begitu salah. Kapitalisme memiliki kemampuan luar biasa untuk mengambil ide yang tampaknya menentangnya dan menggunakannya untuk mengalihkan perhatian dari masalah nyata kapitalisme itu sendiri. Contohnya, orang yang percaya pada ekologi dalam tidak fokus pada kapitalisme sebagai sumber penyakit ekologi atau hierarki dalam hal ini. Mereka menyalahkan teknologi dan agama tertentu. Mereka menyerukan perkembangan spiritualitas yang lebih besar, selaras dengan kosmos, dan menjadi bagian dari jaringan kehidupan. Mereka tidak membangun gerakan sosial dan mereka menawarkan sebuah agama. Sampah spiritual ini yang dihiasi dengan bahasa ekologis, akhirnya mendukung status quo. Kapitalisme siap merangkul agama siapa saja asalkan tidak harus menyerahkan keuntungannya.

Sebuah contoh bagus yang mendukung kekhawatiran saya adalah ekologi dalam mendistorsi ekologi radikal menjadi apologi untuk statisme. Baru-baru ini dalam suatu wawancara, Arne Naess—pendiri ekologi dalam yang telah memanggil dirinya sendiri sebagai anarkis Gandhinian—mengeluarkan pernyataan untuk mendukung negara terpusat yang kuat. Dia ingin negara terpusat yang kuat karena dia percaya jika kamu meninggalkan solusi masalah ekologi untuk wilayah-wilayah kecil justru wilayah tersebut akan melakukan kerusakan ekologi yang hebat. Dalam pemahaman masyarakat kapitalis, pastinya, negara terpusat yang kuat akan melakukannya ke seluruh masyarakat.

Dalam wawancara yang sama, dia menyerang saya tentang “lokalisme”. seolah-olah saya belum pernah menulis tentang saling ketergantungan dan konfederasi. Tapi Naess populer karena dia memberikan ekologi spiritual kepada orang dan itu sangat pribadi. Itu mudah dimengerti, terutama, ketika sejumlah besar orang pergi ke psikoanalis dan menyaksikan film dimana yang mereka dengar hanyalah masalah cinta dan masalah pribadi.

 

Apa anda menemukan yang tidak dapat diterima dari diagnosis ekologi dalam mengenai akar dari krisis lingkungan?

Awal dari semua ini adalah membahas sikap orang, bukan masalah sosial. Kebanyakan ahli ekologi dalam sepertinya berpikir demikian; dengan mengubah sikap manusia sendiri, kita dapat menghasilkan dunia yang ekologis, indah, harmonis; dimana semua bentuk kehidupan dan manusia di antara mereka dapat hidup harmoni.

Sekarang, saya memandang hal itu sebagai kenaifan tinggi. Untuk memulainya, lingkungan sosial kita sangat penting dalam membentuk penerimaan ide-ide baru. Berabad-abad yang lalu—entah benar atau salah—Roger Bacon; seorang rohaniawan, mengantisipasi banyak ide yang dimiliki sains modern  dan rekayasa pengubah kenyataan. Tapi dia hidup di abad ke-13 dan dunia di sekitarnya begitu dikondisikan secara sosial oleh gereja dan hierarki yang tidak bisa menerima ide-ide naturalistiknya. Siapa tahu, ternyata banyak Roger Bacons lainnya telah ada sebelum dia sebagai orang-orang yang mati dalam ketidakjelasan.

Hari ini, kita dihadapkan dengan lingkungan sosial yang pada dasarnya anti-ekologis. Lingkungan sosial saat ini lebih menyukai atomisasi dan menghasilkan uang. Orang-orang menjaga diri mereka sendiri setelah keluarga mereka, setelah pekerjaan mereka, setelah pendapatan mereka, dan itu cukup banyak menjadi perhatian mereka. Ini bukan seperti pada 1930-an, ketika semua orang yang saya kenal tampak perihatin dengan semua hal yang mengubah dunia. Dulu selalu ada pertemuan kelompok; di sudut jalan ada pertemuan, ada aktivitas, vitalitas, dan perhatian publik tingkat tinggi. Kami memiliki budaya politik yang radikal. Kami memerangi—khususnya terhadap—bahaya fasisme. Sekarang, malah memerangi tentang sesuatu yang dianggap “mengganggu”; misalnya ketika orang-orang berbicara dengan amarah malah mereka diberitahu, “Anda menggoyang bahtera. Kita mustinya saling berpelukan”. Ini adalah budaya berpelukan yang menumbuhkan kepasifan.

Ekologi dalam memainkan suasana hati ini. Ekologi dalam menekankan kekerabatan kita dengan burung dan laba-laba. Ekologi dalam menekankan tempat hidup kita  sebagai keharusan lingkaran kehidupan mistik; bukan pada perbedaan kekayaan dan gaya hidup. Pada sesuatu yang disebut “Dewan Semua Makhluk”, orang-orang duduk di sebuah lingkaran dan satu orang berkata, “Saya mewakili kelinci”, orang lainnya mengatakan, “Saya mewakili pohon.”

Ekologis dalam menyukai ritual tersebut. Sebenarnya, orang hanya mewakili diri mereka sendiri. Tipuan seperti itu sudah berakhir meliputi seluruh tempat di Amerika. Dan kita semua harus hidup harmonis dengan masing-masing lain! Ceritakanlah ini pada orang kulit berwarna dan wanita yang tertindas!

 

Tetapi Joanna Macy;  seorang penggagas ritual itu, tampaknya tidak menjadi seorang yang pasif. Banyak ahli ekologi dalam lainnya juga sangat aktif.

Saya tidak tahu tentang aktivitas dia baru-baru ini dan tentunya beberapa ekologis penganut ekologi dalam berpartisipasi dalam protes seputar masalah lingkungan. Tapi kebanyakan ahli ekologi dalam menekankan—seperti yang dilakukan Macy—perubahan spiritual atas politik dan perubahan sosial, dan penanaman kesadaran menghormati atau kepekaan terhadap dunia alami daripada berorganisasi dan membangun gerakan.

Mereka berbicara tentang batin, Buddhisme, dan arketipe daripada kekuatan sosial nyata yang menghasilkan krisis ekologis. Mereka memanggil manusia untuk mengikuti insting mereka dan perasaan, bukan untuk menyusun kembali dunia sesuai alasan rasional. Ini justru menuju sensibilitas pribadi daripada tindakan publik dan sering menghasilkan sedikit-lebih dari perubahan gaya hidup. Itu mudah mengarahkan ke akomodasi. Apa aspek lain dari ekologi dalam? Biosentrismenya hanya reaksioner.

 

Aku mendengar bahwa Pangeran Charles menyebut dirinya sebagai penganut ekologi dalam. Kapan kamu pertama kali menyadari karakter reaksionernya ekologi dalam?

Ketika saya mendengar tentang biosentrisme pada awalnya. Dalam pertengahan 1980-an, saya bertemu dengan seorang ahli ekologi dalam, Bill Devall, di sebuah konferensi di Wisconsin—-tempat kami berdiskusi dan dia membicarakannya. Saya mencoba untuk cukup ramah tetapi saya harus mengkritik ide ini.

Di musim panas 1986; di pertemuan nasional pertama American Greens di Amherst, Massachusetts, saya meluncurkan kritik publik terhadap ekologi dalam. Saya adalah pembicara utama dan saya mendistribusikan sebuah artikel berjudul “Social Ecology versus Deep Ecology”. Saya tidak menyadari bahwa  pada saat itu, saya sedang berurusan dengan orang-orang yang tidak ingin memperdebatkan ide, dan karena saya sangat tajam; saya memusuhi banyak dari mereka. Mereka kurang memperhatikan apa yang telah saya katakan dibandingkan nada saya. “Itu masalah besar!,” begitu nadaku.

Saya dulu mengkritik David Foreman karena pernyataannya bahwa kita harus membiarkan anak-anak Ethiopia kelaparan dan “biarkan alam mengambil jalannya”. Tetapi reaksionernya pandangan mereka lebig sedikit mengganggu mereka daripada cara saya mengkritiknya. Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara para ahli ekologi dalam hari ini. Saya tidak membaca penerbitan mereka lagi. Saya terlalu tua untuk menghabiskan waktu saya dengan membaca materi. Saya sudah menulis apa yang saya katakan tentang mereka.

 

Saya telah bertemu banyak orang dalam gerakan lingkungan yang memiliki pandangan agak samar-samar tentang masyarakat modern atau modernitas dalam arti lebih luas; meliputi teknologi, seperangkat gagasan tertentu, gaya hidup, dan sebagainya. Mereka mengakui bahwa modernitas telah membawa banyak hal positif—atau setidaknya mereka tidak ingin hanya kembali ke masyarakat pra-modern—tetapi mereka tidak ingin membicarakan hal-hal positif ini secara publik.

Alasan mereka adalah kita sudah terlalu modern sekarang; sehingga untuk menempatkan pendulum dalam keseimbangan hanya membutuhkan berbicara tentang oposisi yang ekstrem karena kita menghadapi efek negatif dari teknologi, marilah kita meminimalkan membicarakannya positif. Apa pendapat anda tentang rasa malu seperti ini? Apakah ini strategi yang baik?

Ayolah kita hadapi itu dengan sengaja memberi tahu orang-orang tentang hal-hal yang mereka tahu tidak benar dengan menolak mengakui aspek positif dari modernitas.

Orang-orang macam tersebut tidak jujur. Saya tidak menyetujui pemalsuan strategis, seberapapun jumlahnya. Jika anda menginginkan orang bekerja dengan anda, anda tidak dapat menggurui mereka dengan hanya berbicara kepada mereka dan menceritakan dongeng. Anda harus menceritakan semuanya kepada mereka; bukan hanya bagian-bagian yang melayani tujuan anda. Anda harus berbicara dengan mereka sebagai orang yang cerdas dan kompeten. Kalau tidak, tidak ada tujuan upaya pendidikan untuk kita. Dengan memperlakukan orang seperti anak-anak, kita bersikap seperti politisi yang kita kritik.

Faktanya adalah kita akan harus menggunakan teknologi modern dengan tatanan sosial yang berbeda. Tidak ada gunanya menyesatkan orang tentang hal itu. Sekarang, teknologi jelas dapat digunakan untuk menghasilkan kehancuran berjumlah besar tetapi juga dapat digunakan untuk menghasilkan kebaikan sangat banyak. Bahkan jika kita berhasil melestarikan lebih banyak hutan, lahan terbuka, dan satwa liar; kita masih akan membutuhkan teknologi untuk mempertahankan hutan, lahan terbuka, dan satwa liar utuh. Hal ini akan membutuhkan teknologi tingkat tinggi demi terlibat dalam restorasi dan pemeliharaan ekologi.

Masalah sebenarnya bukan teknologi itu sendiri. Meski ada beberapa teknologi, yang saya akui, seperti energi nuklir, yang saya ingin melihatnya menghilang. Pertanyaan mendasar yang kita hadapi adalah; dengan standar dan arah apa tujuan kita menggunakan teknologi?

Hari ini, teknologi digunakan terutama untuk membuat uang, bukan untuk meningkatkan kehidupan manusia. Di negara ini, sekarang ada skandal besar tentang ban mobil yang rusak. Ban Firestone pada banyak kendaraan sport besar telah hancur berantakan saat kendaraan itu melaju dengan kecepatan tinggi. Semua orang di negara ini mengetahui masalah ini bermula dari satu hal: perusahaan memproduksi secara murah atau barang yang tidak cocok untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Orang-orang tidak percaya dongeng produsen mobil yang baik hati.

Cepat atau lambat, bagaimanapun masyarakat akan memproduksi kendaraan dan ban yang tidak pernah aus tapi dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Jika teknologi ini digunakan untuk tujuan rasional, itu akan menjadi anugerah. Karena itu, saya tidak bisa memilih bahwa teknologi sendiri sebagai sumber masalah. Saya bisa sebutkan alasan teknologi yang digunakan dan menuju apa akhirnya.

Kita hidup di masa yang sangat membingungkan. Terkadang orang mencari jawaban yang mudah untuk pertanyaan kompleks. Jika mesin atau barang berfungsi dengan buruk, itu mudah untuk menyalahkan teknologi daripada perusahaan kompetitif yang mencoba menghasilkan uang atau menyalahkan sikap orang daripada media massa yang membentuk pemikiran orang atau malah mengatakan kita harus kembali ke ideologi-ideologi lama. Fundamentalisme Kristen, fundamentalisme Islam, Marxisme ortodoks, anarkisme ortodoks, bahkan kapitalisme ortodoks malah dianggap untuk solusi.

Orang membutuhkan ide-ide baru berdasarkan alasan, bukan takhayul; tentang kebebasan, bukan otonomi pribadi; pada kreativitas, bukan adaptasi; pada koherensi, bukan kekacauan; dan pada visi masyarakat bebas berdasarkan majelis rakyat dan konfederalisme, bukan pada penguasa dan negara. Jika kita tidak mengatur gerakan nyata; gerakan terstruktur yang mencoba membimbing orang menuju masyarakat rasional yang didasarkan pada alasan dan kebebasan, kita akhirnya menghadapi bencana.

Kita tidak dapat menarik diri ke ego kita yang otonom atau mundur ke primitif. Masa lalu memang tidak diketahui. Kita harus mengubah dunia yang gila ini atau apakah masyarakat akan larut dalam barbarisme yang tidak rasional? Olehnya, hal itu mulai siap dilakukan hari ini.

[Pengalihbahasa: Maong-chan. Kucing yang tidak ingin dipelihara namun banyak yang ingin memeliharanya.]

 

 


Wawancara ini dimuat dalam Jurnal Harbinger vol. 2 no. 1 (2001-2002) yang diterbitkan oleh Institute for Social Ecology (social-ecology.org).


 

Mengatasi Krisis Kebudayaan

Lukisan bertajuk ‘The Good and Evil Angels’ karya William Blake.

*)Ditulis oleh Otto Gross. Seorang psikoanalis Austria yang menjadi murid Sigmund Freud. Pernah tergabung dalam kelompok anarkis-utopis Ascona.

Psikologi alam bawah sadar adalah ilmu revolusi. Ilmu inilah yang dirujuk untuk memunculkan pemberontakan di dalam jiwa dan membebaskan individualitas dari ikatan alam bawah sadarnya sendiri. Merujuk ilmu ini akan membuat kita mampu secara bebas dalam kebebasan. Ilmu ini dirujuk pula sebagai kerja mempersiapkan revolusi.

Penilaian ulang—yang tak tertandingi—atas semua nilai akan diisi tentang masa depan yang akan datang. Pada saat ini, hal ini dimulai dengan pemikiran Nietzsche tentang kedalaman jiwa dan dengan penemuan Freud tentang teknik psikoanalitik. Yang terakhir disebut ini adalah metode praktis yang untuk pertama kalinya memungkinkan membebaskan alam bawah sadar untuk pengetahuan empiris; bagi kita, sekarang menjadi mungkin untuk mengenal diri kita sendiri. Dengan inilah lahir etika baru yang akan bertumpu pada keharusan moral untuk mencari pengetahuan nyata tentang diri sendiri dan sesama manusia.

Kehendak kuat yang mendorong “kewajiban baru untuk memahami kebenaran ini” adalah kita yang sampai hari ini tidak tahu apa-apa tentang masalah mana yang jauh lebih penting daripada yang lain; seperti pertanyaan tentang apa yang hakiki, penting dalam diri kita sendiri, kehidupan batin kita, & tentang diri kita sendiri dan sesama manusia. Kami bahkan belum pernah berada dalam posisi untuk menanyakan hal-hal ini. Apa yang kita pelajari adalah mengetahui bahwa—seperti kita saat ini—masing-masing kita hanya sebagian kecil memiliki dan mengenali yang menjadi milik sendiri dari keseluruhan totalitas yang dianut oleh kepribadian psikis.

Dalam setiap jiwa tanpa terkecuali, kesatuan dari keseluruhan yang berfungsi, yakni kesadaran hati nurani, bisa terbelah menjadi dua. Suatu kesadaran bisa memisahkan diri dan mempertahankan eksistensinya dengan cara menjaga dirinya terpisah dari bimbingan dan kontrol kesadaran—terlepas dari segala jenis pengamatan diri yang secara khusus diarahkan kepada dirinya sendiri.

Saya harus berasumsi bahwa pengetahuan tentang metode Freudian dan hasil pentingnya sudah tersebar luas. Karena Freud, kita memahami semua yang tidak pantas dan tidak memadai dalam kehidupan mental kita sebagai hasil dari pengalaman batin. Pengalaman ini berisi emosi yang memicu konflik hebat dalam diri kita.

Pada saat mengalami pengalaman itu—terutama masa kanak-kanak, tampaknya konflik tidak terpecahkan dan merasa dikeluarkan dari kesinambungan kehidupan batin yang diketahui oleh ego sadar. Sejak itu, pengalaman batin terus memotivasi kita dari alam bawah sadar dengan cara destruktif dan berlawanan yang tidak terkendali. Saya percaya bahwa apa yang benar-benar menentukan untuk terjadinya penindasan dapat ditemukan dalam konflik batin. Hal ini lebih dalam kaitannya daripada dorongan seksual. Seksualitas adalah motif universal untuk sejumlah konflik internal yang tak terbatas. Meskipun tidak melulu konflik dalam dirinya sendiri, sebagai objek moralitas, seksualitas selalu berdiri dalam konflik yang tak terpecahkan dengan segala sesuatu yang bernilai, kepemilikan, kesukarelaan, dan kenyataan.

Tampak pada tingkat terdalam, sifat alami konflik-konflik ini selalu dapat ditelusuri kembali secara komprehensif; yakni kepada konflik antara apa yang menjadi milik diri sendiri dan apa yang menjadi milik yang lain atau antara apa yang merupakan bawaan individu dan apa yang disarankan kepada kita; yaitu konflik terhadap apa yang dididikkan atau dipaksakan masuk ke kita. Konflik individualitas dengan semua prinsip yang telah menembus ke dalam diri kita yang terdalam ini, lebih banyak terjadi pada masa kanak-kanak dibandingkan masa-masa lainnya.

Tragedi itu juga lebih besar karena individualitas seseorang lebih kaya; lebih kuat dalam sifatnya sendiri. Semakin dini dan semakin kuat kapasitas untuk menahan sugesti dan gangguan, maka akan  memulai fungsi proteksi diri. Pula, semakin awal dan semakin intens konflik, hal tersebut bisa memecahbelah diri menjadi semakin dalam dan semakin parah.

Satu-satunya watak yang harus dihindari adalah mereka yang kecenderungan individualitasnya berkembang dengan sangat lemah dan sangat kurang mampu bertahan. Sehingga, di bawah tekanan saran dari lingkungan sosial dan pengaruh pendidikan, mereka berbicara untuk menyerah. Mereka menyerah demi menghentikan dan melenyapkan samasekali sifat-sifatnya; yang pada akhirnya, terbimbing oleh motif yang terdiri atas semua standar evaluasi warisan dan kebiasaan-kebiasaan reaksioner. Dalam karakter tingkat dua seperti itu, suatu kewarasan khusus yang nyata akan dapat mempertahankan dirinya sendiri; ialah fungsi damai dan harmonis dari seluruh jiwa atau—lebih tepatnya—dari apa yang tersisa dari jiwa.

Di sisi lain, setiap individu yang berdiri lebih tinggi dengan cara apapun dari keadaan normal saat ini,  dalam kondisi yang ada, mereka tidak dalam posisi untuk keluar dari konflik patogenis (yang bersifat parasit). Maka untuk mendapatkan kesehatan individualnya, ialah dengan cara perkembangan penuh harmoni dari kemungkinan tertinggi karakter individu yang dibawanya.

Dari semua ini, dapat dipahami bahwa karakter-karakter seperti itu sampai sekarang tidak peduli bahwa dalam bentuk lahiriah macam apa mereka akan memanifestasikan diri mereka sendiri; entah mereka menentang hukum dan moralitas, atau menuntun kita secara positif melampaui rata-rata, atau runtuh secara internal dan menjadi sakit—setelah merasakan kemuakan antara pemujaan atau belas kasihan sebagai pengecualian yang mengganggu—yang mana orang-orang pun mencoba untuk menghilangkannya. Akan dipahami, bahwa hari ini sudah ada permintaan untuk menyetujui orang-orang macam ini sebagai seorang sehat, pejuang, progresif, dan sebagai teladan belajar.

Dalam catatan sejarah, tidak satu pun revolusi berhasil membangun kebebasan untuk individualitas. Para individualis telah mereda secara tidak efektif setiap kali menjadi pelopor borjuisme baru. Mereka telah berakhir dengan keinginan orang untuk menginstal ulang diri mereka dalam kondisi-kondisi yang umumnya disepakati sebagai “normal”. Mereka runtuh karena revolusioneritas kemarin  sudah membawa otoritas dalam dirinya. Sekarang saja, akar dari semua otoritas dapat diakui terletak pada keluarga yang mengombinasikan seksualitas dan otoritas—seperti yang terlihat dalam keluarga patriarkal yang masih berlaku. Oleh karenanya, bertepuktanganlah setiap individualitas dalam rantai!

Sejauh ini, masa-masa krisis dalam budaya maju selalu dihadiri oleh keluhan tentang melonggarnya ikatan pernikahan dan kehidupan keluarga. Tetapi dalam “kecenderungan tak bermoral” ini, orang-orang tidak pernah bisa mendengar seruan etis yang menegaskan kehidupan untuk menyerukan kemanusiaan sebagai pembebasan. Semuanya menjadi celaka dan hancur, juga masalah pembebasan dari dosa asal, seperti perbudakan wanita demi anak-anaknya tetap tidak terpecahkan.

Revolusioner hari ini dengan bantuan psikologi bawah sadar dapat melihat hubungan antara jenis kelamin dalam masa depan yang bebas dan menguntungkan. Berjuang melawan pemerkosaan dalam bentuknya yang paling primordial adalah melawan ayah & melawan patriarki. Revolusi yang akan datang adalah revolusi untuk matriarki (hak ibu). Tidak masalah dalam bentuk lahiriah seperti apa dan dengan apa arti itu akan muncul.

1913

[Pengalihbahasa: Maong-chan. Paman kucing yang amat-sangat menggemaskan.]

Zaman Duka

Gambar asli bertajuk ‘El Abrazo Ausente’ yang merupakan mural karya kolektif seni Lapiztola dari Meksiko. Selanjutnya gambar ini direpro oleh Redaksi Bodat.

 

*)Penulis: John Zerzan. Intelektual anti-globalis, primitivis, & kritikus kebudayaan-peradaban.

Perasaan kehilangan dan kegelisahan yang meresap menyelimuti kita. Kesedihan budaya yang adil  dapat dibandingkan dengan individu yang menderita kehilangan pribadi.

Kapitalisme akhir dengan sangat berteknologi tinggi terus-menerus menghilangkan tekstur kehidupan; seperti kematian terbesar di dunia dalam 50 juta tahun terjadi dengan cepat: 50000 spesies tanaman dan hewan menghilang setiap tahun (World Wildlife Fund, 1996).

Kepedihan kita mengambil bentuk kepenatan posmodern; dengan pola makan yang cemas, relativisme  yang selalu berubah, dan cinta permukaan yang takut berhubungan dengan fakta kehilangan yang mengejutkan. Kekosongan fatal konsumerisme yang ironis ditandai dengan hilangnya energi, kesulitan berkonsentrasi, perasaan apatis, & penarikan sosial—yang dengan tepat disebutkan dalam literatur psikologi kesedihan.

Kepalsuan posmodernisme terdiri atas penolakan kehilangan (memungkiri perkabungan). Tanpa harapan atau visi untuk masa depan, zeitgeist yang berkuasa juga memotong pemahaman tentang apa dan mengapa yang telah terjadi secara sangat eksplisit. Ada larangan berpikir tentang asal-usul yang merupakan pendamping untuk mendesak yang dangkal, sekilas berlalu, dan tidak berlandasan.

Paralel kesedihan individu dan ruang bersama yang sunyi nan menyedihkan seringkali mencolok. Pertimbangkanlah hal berikut ini dari terapis Kenneth Doka (1989): “Kesedihan yang tidak memiliki hak pilih dapat didefinisikan sebagai kesedihan yang dialami orang ketika mereka mengalami kerugian yang tidak dapat diakui secara terbuka, bersedih di muka publik, atau didukung secara sosial”. Penolakan pada tingkat individu memberikan metafora yang tak terhindarkan untuk penolakan pada umumnya; penolakan personal yang seringkali dapat dipahami secara menyeluruh menimbulkan pertanyaan tentang penolakan untuk menangani krisis yang terjadi di setiap tingkatan.

Memandu di dalam milenium adalah bersuara yang menyimbolkan penentangan narasi itu sendiri; melarikan diri dari segala jenis penutupan. Proyek modernis setidaknya memberi ruang bagi apokaliptik. Sekarang, kita diharapkan untuk melayang selamanya di dunia permukaan dan simulasi yang memastikan “pengikisan” dunia nyata dan pemisahan antara diri dan sosial. Jean Baudrillard—pemikir posmo—tentu saja merupakan lambang “akhir dari akhir” berdasarkan pada yang dirancang sebelumnya tentang “pemusnahan makna”.

Kita dapat kembali ke literatur psikologi untuk penjelasan yang tepat. Deutsch (1937) meneliti tidak adanya ekspresi kesedihan yang terjadi setelah beberapa perkabungan dan menganggap ini sebagai upaya defensif ego untuk mempertahankan diri dalam menghadapi kecemasan yang luar biasa. Fenichel (1945) mengamati bahwa kesedihan pada awalnya hanya dialami dalam dosis yang sangat kecil; jika dilepaskan dengan kekuatan penuh, subjek akan merasakan keputusasaan yang luar biasa. Demikian pula, Grimspoon (1964) mencatat bahwa orang tidak bisa mengambil risiko kewalahan oleh kecemasan yang mungkin menyertai pemahaman kognitif dan afektif penuh dari situasi dunia saat ini dan implikasinya untuk masa depan.

Dengan pertimbangan dan peringatan ini, jelas sekali bahwa kehilangan harus dihadapi. Terlebih lagi dalam ranah eksistensi sosial—dimana dalam perbedaan, katakanlah, kematian orang yang dicintai juga krisis proporsi yang monumental dapat diubah menjadi solusi transformatif jika tidak disangkal lagi. Represi sangat jelas dan secara kekinian dipraktikkan melalui fragmentasi posmodern dan kedangkalan (superfisialitas)—tidak memadamkan masalah. “Yang tertindas”, menurut Bollas (1995), menandakan yang dipertahankan: disembunyikan dalam ketegangan terorganisir dari ketidaksadaran. Keinginan dan ingatan mereka terus-menerus berjuang untuk menemukan jalan menuju kepuasan di masa sekarang— keinginan membantah pemusnahan.

Kesedihan adalah menggagalkan dan mematikan hasrat dan sangat mirip dengan depresi—pada kenyataannya banyak depresi yang dipicu oleh kerugian (Klerman, 1981). Baik kesedihan maupun depresi mungkin memiliki kemarahan pada muasalnya; contohnya, asosiasi “budaya hitam” dengan kesedihan dan duka dengan kemarahan seperti dalam “kemarahan hitam.”

Secara tradisional, kesedihan dipandang sebagai penyebab kanker. Variasi kontemporer dalam tesis ini adalah gagasan Norman Mailer bahwa kanker adalah ketidaksehatan masyarakat yang kacau–berbalik ke dalam batin—untuk menjembatani lingkungan pribadi dan publik. Sekali lagi, kemungkinan ada hubungan di antara kesedihan, depresi, dan kemarahan—juga kesaksian, saya pikir—terhadap represi besar-besaran. Ada banyak tanda tentang melemahnya pertahanan kekebalan tubuh seiring dengan meningkatnya material beracun—sebab tampaknya ada tingkat kesedihan yang meningkat dan hal-hal yang menyertainya. Ketika makna dan keinginan terlalu menyakitkan—terlalu tidak menjanjikan untuk diterima atau dikejar—hasil yang terakumulasi hanya menambah bencana yang sekarang sedang berlangsung.

Melihat narsisme profil-karakter kepemimpinan zaman sekarang adalah melihat penderitaan sebagai kesatuan aspek yang semakin erat berkaitan. Lasch (1979) menulis tentang ciri-ciri karakteristik kepribadian narsisistik seperti ketidakmampuan untuk merasakan, kedangkalan protektif, peningkatan permusuhan yang ditekan, perasaan tidak nyata, dan kekosongan. Dengan demikian, narsisme juga dapat digolongkan di bawah judul kesedihan. Dan, saran yang lebih besar muncul dengan kekuatan lebih besar: ada sesuatu yang sangat salah—sesuatu di jantung dari semua kesedihan ini; berapapun banyaknya itu biasanya dilabeli dalam bermacam kategori berbeda yang dipisahkan.

Dalam sebuah eksplorasi pada tahun 1917, melalui “Mourning and Melancholia”, seorang Freud yang bingung bertanya “mengapa ingatan masing-masing orang dari ingatan dan harapan yang terhubung dengan orang yang dicintainya yang hilang harus sangat menyakitkan?”. Konon, air mata kesedihan berada pada dasar air mata untuk diri sendiri. Kesedihan yang intens pada kehilangan pribadi—yang tragis dan sulit dipastikan—dalam beberapa hal mungkin juga merupakan kerentanan bersedih atas kehilangan yang lebih umum—kehilangan bagi trans-spesies.

Walter Benjamin menulis “Tesis Tentang Sejarah”-nya beberapa bulan sebelum kematiannya yang prematur pada tahun 1940 di perbatasan tertutup yang mencegah pelariannya dari Nazi. Dengan merusak kendala-kendala dari marxisme dan literasi, Benjamin mencapai titik tinggi pemikiran kritis. Dia melihat bahwa peradaban, dari asalnya, adalah badai yang mengevakuasi Eden, melihat bahwa kemajuan adalah satu: bencana yang sedang berlangsung.

Saat lampau, sebagian besar atau jika tidak sepenuhnya, keterasingan dan kesedihan tidak diketahui. Saat ini misalnya, tingkat depresi serius berlipatganda setiap sepuluh tahun di negara maju (Wright, 1995). Seperti yang dikatakan Peter Homans (1984), “Berduka tidak menghancurkan masa lalu—hal itu justru membuka kembali hubungan dengannya dan dengan komunitas masa lalu”. Berduka yang autentik menimbulkan peluang untuk memahami apa yang telah hilang dan mengapa terjadi, juga, menuntut pemulihan keadaan tidak bersalah dimana kehilangan yang tidak perlu dibuang.
_

[Penerjemah: Maong-chan. Si kucing sibuk.]

 

Bincang Primitif: Tentang Domestikasi & Penghapusan Globalisasi bersama John Zerzan

John Zerzan Si Pemikir Primitivis.

 

John Zerzan adalah pendukung gerakan anti-peradaban yang berkomunikasi melalui pidato, literatur, dan tindakan. Ia mengemukakan bahwa masyarakat modern tidak berkelanjutan dan berbahaya bagi psikologi dan kebebasan kita. Mengikuti jejak Theodore Kaczynski, Zerzan adalah seorang anarko-primitivis yang percaya bahwa kita harus menyingkirkan peradaban itu sendiri; kembali ke gaya hidup yang sangat sederhana  dan mendekati alam. Ide-idenya bertentangan dengan kepercayaan umum tentang orang primitif dan tentang jalan kita menuju kemajuan.

Berikut cuplikan wawancara seorang bernama Alex Birch kepada ekolog radikal tersebut.

 

Kapan anda mulai serius mempertanyakan peradaban modern?

Saya mulai mempertanyakan peradaban pada awal era 1980-an. Memulai perjalanan menuju pertanyaan ini sejak 1970-an ketika saya melihat awal industrialisme di Inggris yang mengarah pada kesimpulan tertentu tentang sifat teknologi—yang selalu tentang nilai & tidak pernah netral. Lalu berlanjut ke pemikiran tentang pembagian kerja dan saya segera dihadapkan oleh sifat peradaban. Tentang kapan Fredy Perlman membuat kesimpulan yang sama. (Fredy adalah intelektual-aktivis Amerika kelahiran Ceko yang mengusung paham anarkisme hijau-red).

 

Kebanyakan orang saat ini akan setuju bahwa kita hidup di masa-masa sulit. Tetapi hanya sedikit yang berani mengklaim sistem ini pada dasarnya cacat. Apa yang membuat anda mempertahankan sudut pandang radikal bahwa kita tidak dapat mereformasi peradaban untuk memenuhi kebutuhan kita dan kesehatan planet kita di masa depan?

Freud (pakar psikoanalisa) melihat civ (civilization) sebagai penyebab neurosis (civ dan ketidakpuasannya). Jared Diamond menyebut domestikasi (dasar dari civ) sebagai kesalahan terburuk yang pernah dilakukan manusia. Tidak terlalu sulit untuk sampai pada kesimpulan radikal tentang hal itu. Yang lebih sulit adalah memproyeksikan suatu alternatif.

 

Sebagian besar kritik anda terhadap peradaban adalah bahwa ia melahirkan hierarki dan ketidaksetaraan. Apakah mungkin bagi manusia untuk sepenuhnya menyingkirkan struktur kekuatan sosial?

Saya pikir mungkin untuk menyingkirkan struktur. Lagipula, homo tampaknya tidak membutuhkannya selama lebih dari dua juta tahun. Struktur kekuasaan baru-baru ini benar-benar muncul. Itu dengan domestikasi yang diikuti dengan cepat oleh civ.

 

Hans-Peter Dürr; antropolog Jerman, melakukan penelitian selama tahun 1980-an yang menggambarkan suku-suku primitif di zaman modern menunjukkan kesalahan sosial yang ekstrem atas ketelanjangan dan seksualitas. Adakah contoh lain dari suku primitif yang norma sosial dan budayanya menegakkan kekuasaan dan struktur gender sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari?

Primitif adalah istilah yang tidak berguna.  Daerah aliran air menandakan apakah orang melakukan domestikasi atau tidak. Ini kedengarannya sederhana tetapi benar secara universal. Pikirkan perilaku atau sikap yang mungkin kita sebut negatif. Apakah ada sebelum domestikasi? “Tidak” adalah jawaban sederhana.

 

Theodore Kaczynski menolak ke-kiri-an karena ia percaya itu pasti akan mendukung kolektivisme dan dengan demikian akan terjadi pertumbuhan masyarakat berskala besar. Apakah anda setuju dengannya atau sudahkah anda memilih jalur ideologis yang berbeda?

Saya setuju dengan itu. Saya anti-kiri. (“Pasca-kiri” adalah istilah palsu yang menandakan tidak ada).

 

Kaczynski juga terkenal mengklaim bahwa teknologi menciptakan insentif untuk pertumbuhan berkelanjutan sendiri. Apakah teknologi itu kejahatan yang diperlukan atau apakah teknologi primitif dalam komunitas skala kecil dapat diterima asalkan tidak berkembang menjadi bentuk industri?

Perangkat yang memiliki sedikit atau tidak ada pembagian kerja/spesialisasi adalah baik. Sistem teknologi adalah “kejahatan yang diperlukan” jika anda ingin eco-disaster dan techno-culture mandul (seperti ini).

 

Katakanlah kita memiliki kemungkinan untuk kembali ke komunitas lokal yang mandiri besok. Apakah kita dapat mengatur atau mencegah masyarakat untuk bersatu dan mulai mengembangkan teknologi yang lebih baik dan gaya hidup yang lebih maju?

Mengingat apa yang kita ketahui tentang hasil buruk perkembangan politik dan teknologi, saya akan berpikir bahwa orang tidak akan mau meniru jalan itu.

 

Anda telah mengatakan bahwa “pemikiran simbolis” manusia modern; termasuk bahasa, matematika, dan waktu, membatasi dan menindas kebebasan kita. Apa yang anda yakini mengarah pada pengembangan hal-hal ini—mengapa umat manusia memilih budaya peradaban dan bukan budaya primitif? Apakah kita punya pilihan?

Dugaan saya adalah pergerakan pembagian kerja sangat pelan-pelan merayap pada manusia dan mengatur panggung untuk domestikasi. Semua masyarakat bergerak bersama sehingga sulit untuk membalikkan keadaan yang merupakan alasan utama teknologi tidak pernah mundur. Saya kira seluruh pertanyaan simbolis terhubung dengan pergerakan keterasingan. Kecuali itu hanya kebetulan bahwa keduanya sepertinya datang bersama.

 

Kaczynski berpendapat bahwa kita perlu menghancurkan elemen-elemen kunci masyarakat industri untuk kembali ke tatanan pra-industri. Apakah anda percaya ini mungkin secara realistis dan jika demikian, apakah ada batasan etis untuk aktivisme radikal terhadap tatanan saat ini?

 

Saya pikir elemen-elemen perlu dihancurkan tetapi jika populasi menginginkan teknologi itu, kemungkinan, saya khawatir cukup diinstal ulang. Jadi tantangannya lebih dalam dari sekadar menghancurkan barang secara fisik. Batas militansi tampaknya akan ditentukan dalam hal seberapa serius situasinya dalam perkiraan seseorang. Orang-orang yang dikejutkan oleh tindakan radikal pada dasarnya adalah mereka yang merasa bahwa tatanan dominan didengar sebagai keutamaan yang sehat.

 

Apakah anda percaya kaum anarkis hijau cukup terorganisir untuk dapat menggulingkan sistem saat ini dan menggantinya dengan visi ideal anda atau apakah kaum primitif anarkis perlu menyelaraskan diri dengan kelompok-kelompok anti-globalis lain agar tumbuh lebih kuat?

Apa kelompok “anti-globalis” lainnya merupakan satu pertanyaan? Misalnya kelompok kiri; adalah anti-globalisasi? Mereka ingin mereformasi itu, tidak menyingkirkannya karena keberadaan industri & masyarakat massa baik-baik saja dengan mereka. Tetapi orang-orang (kaum anarko-primitif) belum cukup kuat untuk memutuskan hal tersebut.

 

Perubahan apa yang ingin anda lihat diimplementasikan sebagai bagian dari mengurangi dampak negatif globalisasi?

Penghapusan globalisasi demi desentralisasi radikal kebaikan, serta komunitas tatap muka yang sejalan dengan masyarakat terikat yang terdapat selama ribuan generasi.

 

Beberapa orang mungkin membandingkan pandangan anda dengan Rousseau. Apakah tidak ada bahaya dalam meromantisasi “manusia liar” terhadap “manusia modern”;memaksakan gambaran romantis tentang bagaimana rasanya menjalani gaya hidup primitif?

Meromantisir atau mengidealkan kehidupan di luar domestikasi/peradaban bukanlah ide yang baik dan jalan di sana tidak mungkin menjadi piknik. Tapi apa pilihannya? Melanjutkan jalur bunuh diri, genosida, dan ekosida?

 

Krisis ekologi saat ini mulai menakuti banyak orang. Apakah manusia pada dasarnya adalah spesies yang tidak bertanggung jawab? Atau apa yang memotivasi kita untuk menghargai keuntungan dan keserakahan atas kesehatan jangka panjang lingkungan dan diri kita sendiri?

Tidak, tidak secara alami. Sekali lagi, pertimbangkan bahwa perang, hierarki, perusakan lingkungan, objektifikasi sistematis perempuan, agama, pekerjaan, dan lain sebagainya adalah produk domestikasi/civ. Dan, orang-orang yang memasak dengan api pada dua juta tahun yang lalu baik-baik saja tanpa hal itu ditinggikan pengembangannya.

 

Apakah anda percaya keruntuhan tatanan globalis tidak terhindarkan atau adakah kemungkinan bagi manusia untuk menyatukan pikiran terbaiknya dan memilih jalan yang berbeda?

Saya benar-benar berharap bahwa ketika kenyataan terus menunjukkan dirinya dengan jelas bahwa mungkin ada pilihan sadar yang mendukung keberadaan yang waras. Tentu saja itulah yang sedang saya upayakan.

Judul asli teks ini ialah “Interview: Anarcho-Primitivist Thinker and Activist John Zerzan”.

((Dialihbahasakan oleh Maong-chan. Kucing idola umat))

Apa itu Ateis?

Sylvain Maréchal. Menulis ‘Apa itu Ateis?’ pada 1799.

*Ditulis oleh Sylvain Maréchal. Penulis dan pemikir politik Prancis yang dikenal sebagai sosialis utopis. ‘Zaman keemasan’ digagasnya sebagai utopianisme anarkis. Sempat menyunting surat kabar Révolutions de Paris. Pada 1799, ia menulis ‘Apa itu Ateis?’

 

Tuhan tidak selalu ada. Suatu masa, seorang pria yang tinggal bersama keluarganya tidak mengenal otoritas lain selain ayahnya. Dia memiliki sedikit kebutuhan karena mempunyai sedikit keinginan. Dia bukan orang biadab, barbarian, atau pemakan manusia karena kita dituntun untuk percaya. Pun, ia bukan penghuni kota yang dipoles kepalsuan, seperti budak, dan sia-sia.

Dialah lelaki dengan segala kelimpahannya; tidak tahu seni menulis, bahkan mungkin berbicara, tapi tahu bagaimana untuk hidup; seperti mencintai ayahnya, istrinya, dan anak-anaknya. Dia bekerja untuk mereka, bersama mereka, dan mati dalam pelukan mereka.

Di matanya, ladangnya adalah seluruh alam semesta. Pekerjaannya diurus berdasarkan gerakan matahari dan kesuburan bumi. Lengan dan hatinya terdiri dari seluruh keberuntungan dan kesenangannya. Apapun di bawah lapisan vegetasi tanah  tempatnya menanam tidak dicurigainya. Manusia pada masa itu adalah orang asing bagi sains, kebiasaan yang dianggap “buruk”,  kebajikan, dan kejahatan sosial—tetapi sepenuhnya urusan diserahkan kepada alam & kepolosan.

 

***

Para petualang telah menemukan beberapa jejak samar dari zaman keemasan, “Ini bukan Chimera (makhluk simbol setan dari mitologi Yunani),” katanya. Sementara para penyair membuat keberadaannya diragukan dengan memuatnya sebagai ornamen tiruan. Dan era bahagia itu pernah bersinar.

Mengapa kita musti jijik meyakini hal-hal seperti itu? Apakah hal-hal itu berada di alam yang memungkinkan? Apakah begitu sulit untuk hidup dengan cara seperti ini? Bukankah keberadaan manusia saat ini lebih mencengangkan?

Pada waktu itu, manusia terbatas pada permukaan langit dan bumi. Manusia tidak memiliki gagasan tentang kekuatan apapun selain dari “apa yang menempatkannya di bumi dan membangkitkannya”. Apakah kita memikirkan sesuatu yang tidak kita butuhkan? Dan kebutuhan apa yang kita miliki tentang Tuhan bila kita memiliki ayah, istri, anak-anak, teman, lengan, mata, dan hati?

Akan tetapi, sebenar-benarnya ateis adalah orang dari zaman keemasan. Ateis adalah dia yang mundur ke dalam dirinya sendiri dan membebaskannya dari ikatan yang telah dipaksa untuk dikontraknya atau yang dibuat tanpa sepengetahuannya. Ia mundur dari peradaban ke kondisi kemanusiaan sebelumnya. Dan di forum hati nuraninya, ia merendahkan diri. Prasangka dari semua hal mendekati sedekat mungkin pada waktu yang beruntung ketika tidak ada sangkaan tentang keberadaan ilahi—dimana semuanya baik-baik saja; dimana kita memuaskan diri kita dengan kewajiban keluarga. Ateis adalah manusia alam.

Namun demikian, menempatkan diri hari ini pada lingkungan yang lebih rumit dan sempit, ia memenuhi kewajibannya sebagai citizen dan menyerahkan diri pada titah kebutuhan. Sambil mengaduh tentang basis kekejaman lembaga-lembaga politik—sambil menghina orang-orang yang begitu buruk mengelolanya, dia tunduk kepada tatanan publik tempatnya tinggal. Tapi ia tidak didapati sebagai kepala sebuah partai atau  pelopor opininya. Kita takkan menemuinya pada jalan biasa  yang mengarah ke pos-pos bermanfaat atau cemerlang.

Konsisten dengan prinsip-prinsipnya, ia hidup di antara orang-orang sezamannya yang korup atau korup bagai pelaut karena harus melintasi pantai berlumpur demi melindungi dirinya dari racun reptil. Dia membuat dirinya tuli terhadap penghinaan mereka. Dia berjalan di antara makhluk-makhluk jahat ini tanpa mengambil daya tarik mereka yang berliku-liku dan membudak.

 

***

 

Dengan demikian, ateis sejati bukanlah sybarite (hedonis yang gemar berfoya-foya) yang menganggap dirinya sebagai seorang penggemar makanan dan minuman yang pada saat lainnya menjadi seorang debauchee (penggemar kesenangan seksual) yang tidak takut untuk mengatakan dari kedalaman jauh hatinya yang sudah usang bahwa “Tidak ada Tuhan juga moralitas. Saya bisa mengizinkan diri saya untuk apapun”.

Ateis sejati juga bukan negarawan yang mengetahui bahwa “chimera ilahi” dibayangkan untuk menakuti orang-orang dan memerintahkannya atasnama Tuhan yang tidak berguna bagi mereka. Pula, ateis sejati tidak dapat ditemukan di antara para pahlawan munafik dan berdarah yang membuka jalan penaklukan, serta mengumumkan dirinya sebagai pelindung kultus yang mereka anut kepada bangsa-bangsa yang mereka himbau untuk menjadi jinak dan keluarga mereka menghibur dirinya sendiri pada pelaku kepercayaan manusia.

Ateis yang benar bukanlah seorang keji yang bertahun-tahun mengutuk karakternya yang tak terhapuskan sebagai penipu ulung, serta mengubah kebiasaan dan pendapatnya ketika pekerjaan terkenal ini tidak lagi menguntungkan dan dengan ceroboh menempatkan dirinya di antara orang bijak yang dianiaya. Ateis pun bukan kepala panas yang berkeliling di persimpangan jalan untuk menghancurkan semua tanda-tanda keagamaan yang ia temui dan mengkhotbahkan kultus akal budi kepada seseorang yang hanya diberkati dengan naluri.

Sebenar-benarnya ateis bukanlah satu-satunya orang-orang di dunia ini. Bukan pula pria yang melakukan hal-hal aneh melalui keangkuhan, meremehkan penggunaan pikiran, dan kurang-lebihnya  hidup seperti kuda yang mereka pasang atau wanita yang dipeliharanya.

Ateis sejati juga tidak duduk di kursi masyarakat ilmiah yang anggotanya tak henti-hentinya berbohong pada hati nurani mereka dan setuju untuk menyembunyikan pikirannya dan menghambat pawai filsafat yang khidmat; demi memajukan kepentingan pribadi mereka yang menyedihkan atau untuk pertimbangan politik yang menyedihkan pula. Ateis bukan orang setengah sombong—yang sombong dengan menginginkan tidak ada ateis lain selain dirinya di dunia dan akan berhenti menjadi ateis bilamana kebanyakan orang menjadi demikian. Baginya, mania untuk menonjol di tengah kerumunan menggantikan filosofi. Cinta diri adalah Tuhannya. Jika dia bisa, dia akan melihat bahwa pencerahan hanyalah miliknya untuk mendengarkan dirinya berbicara—sementara umat manusia yang lain tidak layak untuk itu.

Ateis sejati juga tidak memiliki filsuf lemah energi yang memerah mukanya jika pendapatnya seolah-olah pikiran jahat. Teman kebenaran yang pengecut akan lebih cepat berkompromi dengannya daripada mengompromi dirinya sendiri. Kita melihatnya menghantui kuil-kuil untuk menyingkirkan kecurigaan akan ketidaksopanan.

Seorang egois yang membawa kehati-hatian ke titik kepengecutan, ia selalu mendapatkan waktunya sebagai prematur untuk pemusnahan prasangka paling kuno. Dia tidak takut akan Tuhan, tetapi orang-orang membuatnya takut. Tidak ada bedanya, baginya, bahwa mereka saling menghancurkan dalam perang sipil dan agama selama dia hidup terlindung dari bahaya dan damai.

Ateis sejati bukan pula dokter sistematis yang hanya menolak Tuhan untuk mendapatkan kemuliaan mengarang dunia di waktu luangnya tanpa bantuan apapun selain imajinasinya. Ateis sejati bukanlah dia yang mengatakan, “Tidak, saya tidak menginginkan Tuhan”. Justru ia mengatakan, “Saya bisa bijak tanpa Tuhan.”

Ateis sejati tidak beralasan dengan keterampilan argumentatif yang hebat terhadap keberadaan ilahi. Sebaliknya, para teolog yang paling lemah dapat mempermalukannya jika dia berselisih dengan mereka. Tapi dia bisa mengatakan kepada mereka dengan bonhomie (humor yang bersahabat) dan menutup diskusi:

“Dokter, apakah ada Tuhan di surga? Bagi saya, pertanyaan itu tidak lebih penting dari pertanyaan ‘Apakah ada hewan di bulan?’. Ini moto saya dalam satu baris, dokter, ‘Aku tidak membutuhkan Tuhan selain Dia membutuhkanku (Sylvain, Lucretius dari Prancis)’”

 

***

 

Apa perbedaan yang Tuhan buat untukku?

Pikiranku tidak lebih jauh dari apa yang menggugah inderaku dan aku tidak mendorong keingintahuanku sejauh ingin menemukan seorang guru lain di surga; aku sudah merasa cukup bertemu dengan mereka di bumi. Percaya bahwa ada sesuatu di luar dari semua yang aku menjadi bagiannya adalah menjijikkan bagi alasanku. Tetapi jika objek ini ada, dia akan sangat asing bagiku. Apa hubunganku dan dia? Tertutup dalam batas-batas alam semesta tempatku tinggal.

Apa yang terjadi di antara tetanggaku bukan urusanku. Pintu masuk ke rumahku adalah kolom Hercules bagiku. Ada jarak yang cukup antara manusia dan apa yang kita sebut “Tuhan”. Aku terlalu dekat untuk melihat sejauh itu. Betapa sulitnya  berjalan dengan jarak yang begitu jauh.

Bagaimanapun, aku memiliki semua yang aku butuhkan: hak berolahraga, tugas untuk dipenuhi, dan kesenangan; hasil dari tugas dan hakku. Kasih sayang yang paling lembut di hati dan ilusi termanis dari jangkauan yang ditemukan di sekitarku,  dalam diriku, dan setiap saat dalam hidupku. Makanan diambil dari sifat segala sesuatu. Aku tak punya waktu untuk disia-siakan. Setiap musim, keberadaanku menawarkanku beragam subjek untuk kepuasan. Sewaktu baru lahir, aku memiliki payudara ibuku. Sebagai seorang pria muda, aku melemparkan diriku ke pelukan yang lainnya. Di usia tuaku, anak-anakku memberiku perawatan yang mereka terima dariku.

Dikelilingi & dipeluk oleh orang tuaku, istriku, anak-anakku, temanku; di mana ada ruang bagi Tuhan? Dia tidak memiliki tempat di keluarga yang bersatu. Kami samasekali tidak merasakan keharusan. Putra yang baik, suami yang baik, ayah yang baik tidak kekurangan apa-apa.

Jika aku tak mendapatkan penghargaan, aku turun ke lubuk hatiku paling dalam; menutup diriku di dalam dan menemukan banyak balasan untuk rasa sakit yang aku derita di luar; untuk kerugian yang kurasakan di sisiku, untuk ketidakadilan, untuk penganiayaan orang-orang jahat—yang lebih dikasihani daripada aku.

Aku tahu bagaimana menemukan semua yang aku butuhkan dalam diriku tanpa usaha apapun. Semua kemampuanku siap membantuku. Aku membungkus diri dalam ingatan akan perbuatan baikku dan mengandalkan hati nuraniku tanpa memohon bantuan di atas kepalaku—di awan.

“Dokter, jika Tuhanmu ada atau tidak, kau bisa melihat pria itu. Dia tahu untuk mempertanyakan dirinya sendiri dan tahu bagaimana menghargai sumber daya pribadi dan internalnya. Ia tidak perlu pergi keluar dari dirinya untuk merasakan kebahagiaan yang buah dari kebajikannya. Kebahagiaan pria jujur ​​selalu merupakan pekerjaan mereka sendiri. Mereka tidak berutang apapun kepada siapapun.”

“Dokter, jagalah Tuhanmu. Aku bisa melakukannya tanpa dia.”

Beberapa jiwa yang baik mengasihani ateis, “Orang-orang yang tidak beruntung. Mereka tidak bisa menjadi baik di dunia ini atau akhirat. Harapan; balsem kehidupan ini, telah diambil dari mereka. Mereka memiliki semangat sempit dan jiwa kering. Mereka tidak tahu bagaimana cara mencintai. Memang orang yang tidak beruntung!”

L. Mercier menyatakan, “Hati yang tidak mencintai adalah ateis pertama.”

 

***

 

Orang baik, jangan khawatir tentang banyaknya ateis! Mereka tidak iri dengan kesenanganmu. Mereka memiliki milik mereka sendiri yang lebih nyata dan lebih murni. Tidak khawatir tentang masa lalu yang tidak ada lagi atau masa depan yang belum ada. Mereka hanya terbatas pada saat ini yang hanya menjadi milik mereka. Minat mereka adalah penggunaan waktu sebaik mungkin. Mereka mengambil aturan perilaku dari alam yang tidak mengenal kekosongan dan tidak pernah salah.

Orang baik, jangan khawatir tentang akun mereka. Baik, ateis sejati adalah kekasih, pasangan, dan teman yang lebih bisa diandalkan daripada orang lain. Mereka merasakan dan menikmati dengan lebih banyak energi. Kehidupan saat ini menjadi segalanya bagi mereka. Mereka bekerja untuk mendapatkan keuntungan terbesar darinya. Dan pengalaman telah mengajari mereka bahwa mereka tidak dapat menyalahgunakannya tanpa terlebih dahulu merugikan diri mereka sendiri.

“Tentu saja. Tetapi tinggalkan kami Tuhan kami!,” kata kalian.

Orang baik, apa yang anda inginkan dengannya? Apa bagusnya dia bagimu? Dari kejahatan apa dia melindungimu? Setelah meninggalkanmu di bawah despotisme kerajaan selama dua belas abad, apakah Tuhan yang mahakuasa mampu melindungi anda dari anarki?

Jika Tuhanmu campur aduk dalam urusanmu, mengapa mereka berjalan begitu buruk? Mengapa anda memiliki altar dan tidak memiliki moral? Mengapa begitu banyak imam dan sedikit orang jujur?

Jika Tuhanmu yang mahabesar merasa puas dengan netralitas yang sempurna, maka katakan padaku, orang-orang baik di bawah ini; bukankah seolah-olah kamu tidak memiliki Tuhan?

Apakah ateis begitu salah? Apakah mereka begitu kriminal ketika mereka melihat keselamatan mereka sendiri? Jaga Tuhanmu, tetapi jangan menganggapnya jahat jika ateis tidak melipatgandakan makhluk hidup. Dan yang terpenting, singkirkan semua prasangka tidak adil dalam hal mereka.

Ateis; yang dulu mereka kenal menakuti dan sampai hari ini masih menakuti wanita dan anak-anak besar dan kecil adalah orang-orang terbaik di dunia. Mereka tidak membentuk korporasi. Seperti imam; mereka tidak membuat propaganda. Bahkan mereka tidak menyinggung siapapun.

Repertoar ateis kuno dan modern pada akhirnya akan membuktikan bahwa kebanyakan dari mereka adalah dari semua manusia yang paling toleran, paling damai, paling tercerahkan, dan paling pengasih. Mereka juga yang paling bahagia.

Bandingkan karakter dan kebiasaan manusia tanpa Tuhan dengan kebiasaan dan karakter manusia ber-Tuhan; apakah ada kontras yang lebih sempurna? Amatilah yang terakhir: dia terus hidup dalam ketakutan dan penghinaan—seperti seorang budak mencium cambuk yang menyerangnya.

Jika dia melakukan tindakan baik, alih-alih menyerahkan diri pada harga diri yang sah, dia cukup bodoh untuk mengaitkan semua jasa dan kehormatan bagi seorang tuan yang mendiktenya. Jika dia mengusulkan resolusi yang murah hati, dia menuntut rahmat dan izin untuk mencapainya.

Seorang anak lemah, dia tidak berani meletakkan kaki di depan yang lain tanpa memandang Papa Tuhan (maafkan kami dengan keakraban ungkapan itu, tetapi itu sangat akurat). Lihatlah bagaimana deis, teis, orang beragama dari sekte apapun menurunkan kepalanya, menutup matanya, menyatukan tangannya, mengulurkan tangannya, & menekuk lutut ketika dia mengucapkan kata “Tuhan.” Apakah ada istilah yang lebih hina atau lebih bodoh daripada yang dia gunakan dalam doa-doanya?

Jika dia kehilangan istri atau anak-anaknya, dia berterima kasih kepada penciptanya yang ilahi karena tidak ada yang terjadi tanpa perintahnya dan itu selalu yang terbaik. Di ranjang kematiannya, seperti seorang penjahat, ia gemetar saat mendekati hakim agung. Gagasan tentang Allah yang murah hati atau dendam mencegahnya dari menyerahkan dirinya pada efusi akhir alam. Dia dengan dingin membuang keluarga dan teman-temannya agar mempersiapkan diri untuk menghadap pengadilan selestial. Tentu saja, keberadaan seperti itu adalah siksaan abadi dan menyadari kehidupan ini neraka dunia lain.

 

***

 

Manusia tanpa Tuhan memiliki dan mempertahankan sikap yang samasekali berbeda.

Marilah kita mengikuti salah satu hari hidupnya. Dia meninggalkan lengan istrinya atau bangun untuk melihat kemunculan bintang besar dan kemudian dia mengatur urusan rumah tangganya dan pekerjaannya. Setelah memberi anak-anaknya pelajaran pertama mereka, dia makan pagi bersama keluarganya. Setelah itu, masing-masing bekerja berdasarkan pekerjaan dan komitmennya sendiri. Mereka berkumpul lagi di tengah hari untuk memulihkan kekuatan yang sudah usang oleh pekerjaan mereka dan mempersiapkan diri mereka sendiri dengan kelelahan baru. Dengan melatih kemampuan alami dan yang didapatnya, manusia tanpa Tuhan tidak tahu kebosanan. Setiap jam menyediakan baginya pengamatan yang harus dilakukan & layanan yang harus diberikan. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari alam dan seaktif itu, ia mengoordinasikan dirinya dengan itu untuk memenuhi tugas yang dibebankan padanya karena hubungannya dengan orang lain. Malam datang, ia melewati saat-saat damai di tengah-tengah keluarganya, dengan seorang teman, dan membiarkan dirinya santai. Gajinya diperoleh dengan baik dari hari yang produktif dan berguna. Istirahat yang lembut menunggu dia di malam hari. Dia tertidur puas bahwa dia tidak meninggalkan kekosongan pada zamannya—meniru jalan matahari.

Ketika ia mencapai masa eksistensinya, dia mengumpulkan semua kekuatannya untuk menikmati kesenangan yang tetap ada padanya dan kemudian menutup matanya selamanya dengan kepastian meninggalkan kenangan yang terhormat dan dihargai di hati kerabatnya—yang memberinya kesaksian terakhir tentang harga diri dan hal-hal terlampir.

Perannya selesai. Ia secara damai pensiun dari tempat kejadian untuk memberikan ruang bagi aktor lain yang akan menjadikannya sebagai model mereka. Dia pasti merasa sangat menyesal untuk perpisahan dari semua yang dicintainya. Tetapi alasan mengatakan kepadanya bahwa itu adalah urutan hal yang kekal. Bagaimanapun, dia tahu bahwa dia tidak sepenuhnya mati. Seorang ayah adalah abadi. Dia terlahir kembali, dia hidup kembali di setiap anak-anaknya, dan bahkan dalam potongan-potongan tubuhnya: tidak ada yang dilenyapkan.

Sebuah mata rantai yang tidak dapat dihancurkan dalam rantai besar makhluk; manusia tanpa Tuhan merangkul segala sesuatu dalam pikiran dan menemukan penghiburan dalam hal ini. Mengetahui bahwa meninggal dunia hanyalah perpindahan materi dan perubahan bentuk. Saat ini dia meninggalkan kehidupan dengan mengingat—jika dia punya waktu; kebaikan yang dia lakukan serta kesalahannya. Bangga akan keberadaannya, ia hanya menekuk lututnya di depan penulis zamannya. Dia telah berjalan di bumi, kepalanya tinggi, dan dengan langkah yang kokoh—sama dengan setiap makhluk lainnya dan hanya karena hati nuraninya. Hidupnya penuh seperti alam: ecce vir.

Jika kerangka kerja sempit dimana kita dibatasi untuk mengambil keuntungan dari semua keuntungan dari subjek kita, kita akan mengajarkan orang-orang tertentu bahwa ateis dapat dipercaya dalam perdagangan serta lembut dan tenang dalam masyarakat; bahwa mereka sendiri tahu bagaimana menikmati dengan kelezatan dan sesuai dengan keinginan alam yang mereka konsultasikan sebelum hal lain.

Di antara mereka jarang ada orang fanatik atau orang-orang munafik. Merasa senang dan puas, mereka mudah bergaul karena tahu betapa singkatnya kehidupan. Mereka lebih suka melewatkannya dengan saling mencintai daripada perselisihan atau kebencian. Inilah mengapa mereka tidak melihat ada yang salah dalam berpikir secara berbeda dari mereka. Sebagai filsuf tanpa pretensi, mereka tidak marah dengan penghinaan. Bahkan, mereka terbiasa dilemparkan oleh para hamba Tuhan. Mereka memandang mereka sebagai anak-anak yang sakit.

Jika beberapa ateis yang namanya dikumpulkan dalam kamus akan kembali ke dunia, apa yang tidak akan kita lakukan untuk diterima di perusahaan mereka untuk berbagi kebahagiaan mereka yang mudah dan bebas penyesalan?

Siapa di antara kita yang akan menyesali zamannya jika dia melewati jam-jam pertama di sekolah Pythagoras atau Aristoteles, lalu menerima keramahtamahan Anacreon, Luctreius, atau Chaulieu? Dan kemudian, setelah berjalan-jalan di taman Epicurus atau Helvetius, dirinya dikejutkan oleh malam antara Aspasian dan Ninon.

Tanpa mempertimbangkan nama-nama terkenal ini, mereka mengatakan kepada kami:

“Tidak kurang dari Tuhan atau gagasan tentang Tuhan dibutuhkan untuk mengisi kekosongan dalam hati manusia dan memenuhi pikirannya. Dia yang tidak percaya tentu lebih ambisius nan lebih ramai. Hanya dengan mencapai kehormatan atau kesenangan material, ia dapat hidup dan hidup di bumi tanpa jijik. ”

 

***

 

Mari kita menjawab ini.

Dia yang seorang ateis melalui akal merasakan lebih dari yang lain tentang ketidakberuntungan dari perbedaan sosial ini; kesenangan-kesenangan vulgar yang kebanyakan manusia sia-sia dan cemburu. Seorang pengamat yang cermat—seorang sahabat alam yang tercerahkan, ia membutuhkan benda-benda hebat untuk memenuhi imajinasinya. Dia memandang dengan kasihan dan kesusahan pada krisis-krisis politik atau agama yang menyiksa massa manusia demi keuntungan segelintir orang celaka yang seluruh bakatnya terletak pada keberanian melakukan kejahatan. Ini hanyalah kacamata mengerikan dan memalukan dimana ateis menolak untuk memainkan peran.

Kadang-kadang pembalasan diambil untuk penghinaannya dengan menutupi dia dalam penghinaan. Di sinilah kita bisa mengagumi pengaruh pendapat liberal pada karakter dan keberadaan manusia. Ateis mulai berpikir seperti ini dengan cara mempelajari sifat hal-hal yang telah menempatkan dirinya di atas mereka. Dipenuhi dengan martabatnya sendiri, ia mengajukan alasannya kepada otoritas lain selain bukti. Ateisme menginspirasi sentimen tentang peningkatan dan kemandirian pada tingkat yang tidak dapat dicapai dalam sistem manapun.

“Tuhan diperlukan untuk rakyat. Rakyat membutuhkan seseorang untuk belajar patuh di hadapan para pemimpin mereka. Dan para pemimpin ini tidak dapat melakukannya tanpa seorang pun untuk memudahkan tugas administrasi mereka.”

Kami menjawab: Tuhan bermanfaat bagi mereka yang diperintah maupun mereka yang memerintah. Selama bertahun-tahun, ia tidak membuat kesan pada semangat yang bekas. Orang-orang tidak sebodoh itu untuk tidak melihat bahwa Tuhan tidak lain adalah rem yang digunakan oleh mereka yang membuat tirani mereka. Pengalaman sehari-hari dengan kasar membangunkan mereka akan kebenaran ini.

Dalam hal apapun, dalam populasi 100000 orang mungkin tidak ada lima puluh yang mengambil kesulitan untuk mengesampingkan kepercayaan mereka. Orang-orang menerimanya tanpa pertanyaan. Mereka beragama Katolik, sama halnya seperti mereka menjadi ateis jika leluhur mereka memang demikian. Tuhan menyerupai barang-barang lama dari furnitur yang jauh dari berguna; yang hanyalah suatu jalan yang diturunkan dalam keluarga dan disimpan secara religius karena seorang putra menerimanya dari ayah, dan ayah dari leluhurnya.

Kami bersikeras dan mengatakan: Tuhan dan para pendetanya sama pentingnya dengan hakim, polisi, dan mata-matanya. Apapun kesesatan  manusia dalam peradaban, pengadilan pemasyarakatan yang baik sudah cukup untuk semua sebab. Pekerjaan ganda saling membahayakan; melumpuhkan satu sama lain secara timbal balik. Polisi pendeta tidak pernah sebaik pengawasan aktif mata-mata.

Sudah lama sekali penghancuran persneling politis-religius lama yang tidak cukup disetujui semua orang dan sangat sedikit menguntungkan kesempurnaan manusia. Tapi di sini adalah imputasi yang paling kejam dan paling serampangan terhadap manusia tanpa Tuhan: mereka berani mengatakan ateisme menurunkan moral masyarakat sipil.

 

***

 

“Penakluk kebajikan yang suci, bimbing pena saya sebentar…”

Para imam dari dewa buah perzinaan, kalian berani mengatakan kepada kami bahwa ateisme adalah demoral!

Dan anda; penganut teisme dari pemeliharaan penuh kuasa yang telah mengizinkan percabulan berdarah dari revolusi sepuluh tahun, anda juga mengatakan bahwa ateisme itu demoralis!

Anda juga; para negarawan, anda mengizinkan diri anda untuk menjadi gema para pendeta yang puas dan anda berkata bersama mereka, “Ateisme meremehkan orang-orang.” Anda yang setiap hari membiarkan iman suami-istri diejek di semua tahapan negeri ini; anda yang membuat perangkap bagi orang yang tidak beruntung dengan lotere anda inilah yang benar-benar membuat orang-orang kehilangan moral. Orang-orang kehilangan akhlaknya dengan para pendeta yang menguduskan perzinaan dalam liturgi mereka dengan para semi-filsuf yang mengkhotbahkan pertolongan yang terlibat dalam kejahatan yang ia izinkan. Pemikir yang tidak konsisten atau beritikad buruk menanyakan, “Apakah ateisme yang memerintah di pengadilan tiga penguasa monarki terakhir kami dari Louis XIV, Louis XV, sampai Louis XVI?

Apakah ateisme yang mendominasi konvensi dengan Robespierre yang menganiaya ateis?

Apakah ateisme yang mendirikan inkuisisi (pengadilan bidah) yang menutupi Amerika dengan mayat, yang memerintahkan Pembantaian Hari Santo Bartholomew, dan yang melakukan semua jenis kejahatan di Vendee? Apakah koalisi ateis sebagai kekuatan bermahkota  yang membawa wabah perang pemusnahan di seluruh Eropa?

Apakah ateis seperti St. Dominic, Charles IX, dan Maria de Medicis? Apakah Ferdinand, George III, Francois II, dan Paul I itu ateis? Apakah ibu dari yang disebut terakhir juga seorang ateis? Apakah Pitt dan Maury seorang ateis? Apakah para imigran Prancis yang memalingkan pedang mereka terhadap payudara ibu mereka adalah ateis?

Hai; Bayle yang terpelajar!, Spinoza yang berbudi luhur!, Frise yang bijaksana!, Dumarsais yang sederhana!, Helvetius yang jujur!, Holbach masuk akal!, dan lain-lainnya; kalian semua hanya filsuf yang menolak Tuhan untuk menghasilkan moralitas yang murni! Apakah kalian menurunkan moral dunia?

Apakah ateis dipandang sebagai kambing hitam yang dituduh oleh orang Ibrani atas semua kejahatan mereka?

Demi menghibur para pemalas dan mendidik orang-orang bodoh, coryphées (pemandu tarian) dari kekaisaran bas sastra Prancis menikmati diri mereka sendiri dalam bentuk prosa maupun syair dengan mengorbankan ateisme orang-orang yang mengakuinya.

Kami hanya akan membalas mereka dengan mengubur mereka dan wewenang darinya dengan nama-nama mengesankan di kamus. Nama-nama yang layak dipuji ini setidaknya harus membuat mereka lebih berhati-hati. Pendapat moral yang dianut oleh begitu banyak orang hebat dan baik pantas untuk dibicarakan dengan nada yang lebih terukur. Massa hak pilih ini harus memiliki bobot dalam skala yang belum diputuskan.

Kami telah mengumpulkan tidak hanya sentimen utama dari ateis yang dikenal, tetapi juga jumlah kesaksian tak terbatas yang mendukung mereka. Kesaksian yang layak bahkan lebih dipercaya karena mereka datang dari mulut atau pena musuh mereka. Kami telah mengejutkan beberapa teolog dengan mengatakan prinsip-prinsip yang jauh lebih filosofis daripada yang mereka pikirkan—memberikan penghormatan pada kemurnian perilaku dan niat manusia tanpa Tuhan. Harus dikatakan juga bahwa banyak warga negara yang jujur ​​dan manusia terpelajar adalah ateis tanpa percaya yang seperti demikian. Ini karena mereka belum belajar untuk menggambar konsekuensi dan menerapkan prinsip-prinsip tertentu yang mereka anut.

Mari kita tambahkan bahwa jika tidak pernah ada penyamun atau orang yang tidak beruntung di bumi, kita tidak akan pernah berpikir untuk mencari Tuhan di surga.

Keturunan kita tidak akan dapat membaca halaman-halaman tertentu dari catatan sejarah kita tanpa bertanya: apakah manusia diorganisir secara berbeda dari kita pada masa itu? Apa yang mereka lakukan dengan alasan mereka? Kasihan sekali jika mereka menempatkan begitu banyak kepentingannya dalam mengucapkan kata “Tuhan”!

 

***

 

Regenerasi membicarakan sebuah tatanan baru. Prinsip-prinsip besar, rencana besar, dan wawasan mendalam diumumkan. Para ideolog memperlakukan para pendahulu mereka sebagai orang idiot—seperti orang picik. Namun orang-orang dengan konsep berani ini, mereka tidak berani secara resmi menerbitkan apapun yang bertentangan dengan prasangka yang paling tidak masuk akal dan jompo. Mereka mengusulkan peningkatan sebuah bangunan dengan proporsi paling luhur namun mereka tampaknya menghormati reruntuhan Gotik—yang mereka khawatirkan akan memberikan pukulan telak.

Mereka membiarkan umat manusia untuk tetap bersujud di kaki jimat kuno alih-alih mengatakannya dengan semua otoritas nalar, “Bangkit dan pawailah dengan langkah-langkah raksasa menuju kebahagiaan.” Mengikuti nasehat-nasehat lemah dari kebijakan palsu yang mereka berikan sebagai suaka publik demi penipuan dan filosofi sacerdote (kependetaan). Negarawan akan malu jika kita menganggap mereka religius tetapi itu tidak mengganggunya jika semua orang selain mereka juga begitu.

Mereka berkata, “Ini belum waktunya untuk mengambil Tuhan dari orang-orang.”

Apa yang kamu tunggu? Takut akan hasil semi-pencerahan. Semuanya harus diberitahukan kepada orang-orang atau tidak samasekali. Orang yang hanya setengah tercerahkan adalah orang yang paling menjijikkan. Anda tidak akan pernah membuat apapun dari mereka. Tapi ini mungkin niat anda. Jika semua bangsa dengan suara bulat mengakui Tuhan yang berbeda dari materi dan mendedikasikan kultus kepadanya, orang-orang bijak dari segala abad dan semua negara hanya mengakui materi bekerja sendiri.

Ketika membahas nomenklatur kita, kita dapat melihat dua sentuhan ekstrem ini. Kita melihat teolog dan filsuf berjalan berlawanan arah untuk mencapai tujuan yang sama. Spiritualis dan materialis menarik hasil serupa dari argumen mereka yang berlawanan. Tuhan adalah alam bagi mata tubuh; alam adalah Tuhan bagi mata pemahaman. Entah material atau abstrak, keilahian adalah segalanya atau itu bukan apa-apa. Dan mereka yang membicarakannya adalah Spinozis atau Don Quixotes.

Diharapkan bahwa pembacaan “Kamus Ateis Kuno dan Modern” akan mengarahkan para pembacanya untuk mengatakan:

“Mengapa banyak sekali tinta, empedu, dan darah? Tuhan dapat memiliki momen kegunaannya selama masa kecil dari badan-badan yang dipolitisir. Sekarang umat manusia telah mencapai kedewasaan. Kita tidak lagi membutuhkan tali tua itu. Dengan bebas, kita akan tahu bagaimana mengurangi nilai mereka dari pidato-pidato yang brilian dan keras itu. Yang berguna, yang baik, & yang benar akan mendapatkan preferensi dalam roh kita dibandingkan penerbangan imajinasi dan kesombongan yang luar biasa. Orang-orang yang gelisah yang bermeditasi kudeta, pemikir mendalam yang ingin melakukan revolusi di kekaisaran ide, atau yang menerapkan teori agung mereka ke dalam statistik akan bertemu dengan orang-orang yang bijaksana di sepanjang jalan yang berjalan dengan alam dan alasan sebagai musuh-musuh yang tak tergoyahkan dari politik dan abstraksi agama. Dengan agama yang disederhanakan dan direduksi menjadi kesalehan berbakti, kami juga ingin menyederhanakan institusi sipil kami. Seluruh aparat diplomatik akan tampak bagi kita sebagai bagian dari kekanak-kanakan yang besar. Semua banyak roda gigi pemerintahan sosial yang menyerupai mesin hidrolik kuno akan direduksi menjadi gerakan yang tidak rumit. Kami akan bertindak dengan cara yang bertentangan dengan nenek moyang takhayul kami yang menghasilkan sedikit dari banyak. Membersihkannya karena kita akan menjadi pertimbangan kecil yang diperlukan sampai sekarang agar tidak bertabrakan dengan kesalahan yang terhormat dan kuno. Kita akan mengatakan dengan memparodikan ekspresi Ninon: sebuah pemerintahan harus sangat miskin dalam pencerahan dan sumber daya ketika ia berpikir harus menerima prasangka agama.”

Itulah revolusi yang dilakukan ateisme. Kami ulangi, itulah yang akan mempengaruhi opini liberal tentang roh dan institusi. Penghancuran penuh dan lengkap dari kesalahan panjang dan mengesankan yang bercampur dengan segala sesuatu yang mendenaturasikan segalanya, bahkan kebajikan. Sebab itu adalah jebakan yang lemah, tuas bagi yang kuat, dan penghalang di depan orang-orang jenius. Penghancuran kesalahan yang panjang dan mengesankan itu akan mengubah wajah dunia.

 

***

 

Sambil menunggu peristiwa besar ini yang sangat ditakuti oleh orang-orang yang hidupnya dalam kebohongan dan orang-orang bijak yang mandul namun tak bisa bergegas, kami katakan kepada orang-orang sezaman kami yang bingung:

Tuhan memiliki baginya ketidaktahuan dan penipuan, ketakutan dan despotisme, dan terhadapnya alasan dan filosofi, studi tentang alam, dan cinta kemerdekaan. Tuhan berhutang kelahirannya karena kesalahpahaman. Dia hanya ada melalui pesona kata-kata: pengetahuan tentang hal-hal membunuh dan melenyapkannya.

Akal sehat menolak gagasan tentang Tuhan yang jasmani. Dewa abstrak tidak memiliki pegangan di atasnya. Namun Tuhan hanya bisa berupa abstraksi atau materi. Lagi-lagi harus diulangi di sini: Tuhan itu semua atau tidak samasekali. Untuk bisa akrab dan dipahami, teolog harus mengekspresikan dirinya seperti filsuf. Tetapi jika semuanya adalah Tuhan, maka Tuhan kehilangan keilahiannya. Di sisi lain, bersandar pada spiritualitasnya, ia hanya ada dalam pemikiran manusia.

Kita dapat memahami rasa malu dari sekolah, membangun ruang imajiner dengan kata-kata yang tidak memiliki arti, atau menghancurkan hantu ketika mereka melakukannya. Sialnya, semua perang suci yang menghancurkan halaman-halaman sejarah kemudian hanyalah pertengkaran gramatikal. Blush on untuk ayahmu, yang kehilangan diri mereka dalam pertanyaan-pertanyaan teologis menyedihkan. Bakar perpustakaan-perpustakaan berdebu yang hanya membuktikan igauan dan aib jiwa manusia. Singkatnya hidup tidak membuat kamu cukup senggang untuk menyia-nyiakan momen sekejapmu dalam terkaan atau anggapan yang serampangan.

Sampai sekarang, kamu hanya hidup dengan fiksi. Hukum anda masih penuh dengan mereka. Manusia membutuhkan sesuatu yang lebih substansial. Singkirkan semua yang tidak bertumpu pada alam dan hal-hal pembuktian.

Seorang legislator modern (porcher) berani mengatakan pada saat keterbukaan, “Opium harus diberikan kepada tiga perempat manusia.” Semoga pernyataan ini menghilangkan tidur panjangmu. Itu terlalu benar: sampai hari ini, manusia hanya diperintah dengan memberi mereka obat agama dan obat terlarang lainnya. Mulai dari sini, tutup telinga anda tidak hanya untuk para imam, tetapi juga untuk setiap negarawan yang berbicara dan bertindak seperti seorang imam.

Tiga kata jimat sudah cukup untuk membuat agama dan revolusi. Ini tidak boleh lagi terjadi. Anda tidak boleh lagi menyajikan—atau setidaknya menderita—kacamata dan skandal seperti itu. Tolak semua sistem ini yang merupakan penyebab atau akibatnya. Bukankah semuanya sudah dikatakan tentang masalah sains dan politik ilahi? Sekarang, melewatlah ke benda-benda positif yang benar-benar menyentuh anda. Apakah anda tidak memiliki moralitas domestik dan pengalaman tradisional?

Dua buku terbuka untuk anda, hati, dan sifat anda. Pikirkan mereka di atas segalanya. Pikirkan tentang bagaimana jenis studi lain yang kecil dan menyedihkan, boros, dan tidak pasti dibandingkan dengan hati dan alam–hanya merekalah yang nyata dan bermanfaat, bagus, dan indah.

Serahkan diri anda pada hasil pengamatan, pengalaman, dan manisnya sentimen kebaikan hati yang bertimbal-balik. Tempatkan semua yang telah dikatakan dan dilakukan tentang Tuhan dan diplomasi secara paralel dengan pekerjaan pertanian dan tugas keluarga. Betapa menyedihkan dan celakanya metafisik yang mendalam—yang menghabiskan waktunya di ruang belajar berdebu demi membuat buku dengan buku-buku lain apabila dibandingkan dengan ateis yang melatih kemampuan intelektual dan fisiknya di bawah pengawasan alam dan menikmati kesenangan paling murni sebagai hasil dari organisasi yang sehat. Betapa kurus dan menggelikannya seorang penyiar pekuburan untuk pekerja, kepala keluarga yang memiliki akal sehat untuk menjadi apa-apa selain itu, dan yang mengandalkan cahaya akal sehatnya! Untuk inilah manusia harus cepat atau lambat kembali.

Tinggalkan Tuhan. Tuhan tidak ada gunanya bagimu, Tuhan tidak berguna bagi manusia. Belajarlah dari kesalahan ayahmu. Jangan seperti mereka; mengorbankan hal-hal dengan kata-kata. Jaga urusanmu sendiri. Awasi orang-orang di antaramu yang ditugasi mengurus kepentingan eksternalmu. Agenmu tidak peduli bahwa kerumunan membuat pandangannya terangkat ke surga. Ketika sedang melihat ke sana, ia tidak melihat apa yang sedang terjadi di bumi.

Gagasan tentang Tuhan yang mengada-ada di dunia lain untuk para tirani yang ada di dunia ini yang tercetak di otak para penguasa adalah bantal yang nyaman bagi kepala para penguasa.

Sebuah republik ateis akan memberikan kelonggaran pada administrator tertinggi. Ateis adalah warga negara yang berpandangan jelas dan jujur ​​dan benar-benar menolak untuk mengakui kekuatan lain selain dari alasan. Manusia seperti ini tidak bisa dipimpin dengan tongkat. Seseorang takut bertemu mereka. Eksterior cantik tidak membuat mereka terkesan; janji-janji indah tidak memuaskan mereka. Bukan untuk mereka yang bisa kita katakan, “Sabar, biarkan yang jahat berbuat sesuka mereka. Tuhan mengizinkan mereka untuk mencapai ketinggian sesaat untuk mempersiapkan kejatuhan yang lebih besar.”

Ateis tidak menerima alasan ini. Mereka ingin mencegah kejahatan; mereka ingin keadilan dilakukan kepada pemegang tempat pertama yang melakukan kesalahan. Mereka menginginkan hukum hadir di mana-mana pada saat yang sama dan secepat kilat untuk menggantikan Tuhan yang tersembunyi dan bergerak lambat—yang membiarkan Cromwell dan Monk mati di tempat tidur mereka.

Bertoleransi dengan rasa dan prinsip, ateis menginginkan hakim negara yang besar,dengan menguduskan undang-undang tentang kebebasan beragama untuk tetap merasakan absurditas dan ketidaknyamanan semua agama dalam proklamasinya yang bijaksana; yang ditujukan kepada ayah dan kepala keluarga.

Citizen! Kebebasan beragama dituntut dan kami tidak akan menolaknya. Tetapi apakah itu sesuatu yang baik bagi mereka yang dengan keras menyerukannya? Kami tidak berpikir begitu dan kami pikir itu adalah kewajiban kami untuk berbagi keraguan kami dengan anda. Kami tidak bisa melarang penjualan arsenik oleh apoteker. Tetapi para ayah dan kepala keluarga, kami meminta anda atasnama moral yang baik dan kebenaran suci, atasnama kepentingan publik dan pribadi, untuk bergabung dengan sifat anda menuju pencerahan yang diberikan oleh semua orang yang benar-benar bijak dan melindungi generasi yang sedang bangkit dari penularan agama.

Buatlah anak-anak anda dan tanggungan anda merasa bahwa mereka dibodohi; bahwa mereka tidak berhutang apapun untuk menjadi tinggi di atas pemahaman mereka; bahwa satu-satunya tugas mereka adalah cinta akan kerja dan hukum, pengakuan dari yang menuliskan hari-hari mereka, dan instruksi mereka.

Ayah dan kepala keluarga! Biasakanlah anak-anak anda dan para pelayan anda untuk hanya melihat di dalam diri anda adanya para menteri moralitas; untuk melihat sebagai satu-satunya altar mereka tempat dimana mereka menerima kehidupan dan pendidikan; untuk hanya mengakui kesalahan mereka kepada anda dan hanya berkonsultasi dengan anda. Akhirnya, untuk menemukan di dalam kamu dan kamu sendiri, Allah mereka dan para imam mereka.

Kepala keluarga, raihlah kembali hak anda! Satu-satunya rem yang dibutuhkan orang bebas adalah hukum dan moral.

Ibu yang baik! Jadilah pemeliharaan anak-anak anda. Semoga kebajikan putri anda menjadi pekerjaan anda. Jangan bergabung dengan orang asing ke fungsi agung anda. Anak perempuan yang dilahirkan dengan baik seharusnya tidak pernah meninggalkan ibunya untuk sesaat. Tidak senonoh melihat seorang perawan muda berlutut di bawah kaki seorang lelaki yang bukan ayahnya untuk mengakui kesalahan domestiknya. Ada agama universal yang mendahului semua yang lain dan yang akan mempertahankan hidup mereka: bakti. Ini adalah satu-satunya agama alami. Rumah tangga pihak ayah adalah kuilnya.

Tetapi cara seperti itu lambat. Memasuki perjanjian dengan kepalsuan, menyerang hanya dengan proklamasi, & menjanjikan kemenangan bagi kebenaran dalam beberapa abad. Saya suka berpikir bahwa suatu hari, mungkin segera, seorang manusia suci akan bangkit; bergabung dengan kilauan kecerdasannya ke kekuasaan kebajikan semua kekuatan karakter yang hebat.

Selama berabad-abad, hampir semua negara tidak puas dengan kondisi mereka. Mereka memanggil makhluk gaib yang harus datang ke bumi untuk mengubah atau setidaknya memperbaiki keadaan.

Di Delphi (tempat berkumpulnya peramal masa Yunani kuno), mereka menubuatkan kedatangan putra Apollo yang akan membawa pemerintahan keadilan kepada manusia. Bangsa Romawi menunggu seorang raja yang diprediksi oleh para sybil (nabi pembawa keberuntungan) mereka. Orang-orang India menunggu Wisnu yang akan muncul di hadapan mereka dalam bentuk centaur (santa). Orang-orang Persia menunggu Ali, orang-orang Cina untuk Felo, orang Jepang menunggu Peirum dan Karbadoxi, dan orang Siam untuk Sammonocodon. Sementara orang-orang Ibrani belum memikirkan tentang mesias mereka, orang-orang Kristen percaya pada kunjungan kedua dari Yesus dalam kedok ketakutan dari hakim yang kerasnya tiada banding.

Kaum moralis, para filsuf itu sendiri, berharap akan penampilan seseorang yang berani berbicara secara terbuka tentang seluruh kebenaran.

Semoga dia diproklamasikan sebagai dermawan kemanusiaan; legislator bijak yang akan menemukan rahasia menghapus Tuhan dari otak manusia yang telah menjadi jimat jahat penybab banyak kejahatan dan banyak setan!

 

***

 

Apakah itu ateis?

Ateis sejati adalah seorang filsuf sederhana dan damai yang tidak suka membuat keributan dan tidak memamerkan prinsip-prinsipnya dengan pamer kekesalan. Ateisme adalah segala sesuatu di dunia yang paling alami nan paling sederhana.

Tanpa berdebat baik atau melawan keberadaan ilahi, ateis langsung menuju tujuannya dan melakukan apa yang orang lain lakukan untuk Tuhan mereka. Bukanlah untuk menyenangkan keilahian bahwa dia mempraktikkan kebajikan, tetapi agar bisa benar dengan dirinya sendiri. Bila terlalu bangga untuk menaati siapapun bahkan seorang dewa, ateis hanya menerima perintah dari hati nuraninya.

Ateis memiliki harta untuk dijaga dan itu kehormatannya. Seorang manusia yang menghargai dirinya sendiri tahu apa yang harus ia larang sebelum mengizinkan dirinya sendiri dan akan malu dengan gagasan untuk menerima saran atau mengikuti model.

Ateis adalah manusia terhormat. Dia akan malu berhutang kepada Tuhan soal pekerjaan yang baik yang bisa dia lakukan untuk dirinya sendiri dan atasnamanya sendiri. Dia tidak suka didorong untuk berbuat baik atau berpaling dari kejahatan: dia mencari yang satu dan menghindari yang lain atas kehendaknya sendiri dan kita bisa bergantung padanya.

Berapa banyak perbuatan baik yang telah dikaitkan dengan Allah; yang menjadii prinsip satu-satunya hati orang besar yang menghasilkannya?

Ketidaktertarikan yang paling sempurna adalah dasar bagi semua resolusi ateis. Dia tahu dia memiliki hak dan kewajiban. Dia melakukan latihan pertama tanpa keluhan dan yang lainnya tanpa kendala. Ketertiban dan keadilan adalah ketuhanannya. Dan ia membuat pengorbanan gratis hanya untuk mereka:

“Orang bijak saja yang berhak menjadi ateis.”

 

[Pengalihbahasa: Maongster. Kucing yang dimiliki banyak kekasih yang tidak mengklaim dirinya mempunyai banyak kekasih.]

 

Bunga Vandalia Bermekaran Pada Panasnya Musim Elektoral

Komite Anti Elektoral (Alek) dihadirkan pada Juni 2018 sebagai komitmen menekuni hobi ngevandal kepada otoritas yang dibenci/elektoralisme.

 

 

Bebungaan itu bermekaran pada angkuhnya dinding-dinding kota yang tegak ditopang kapital. Nan jauh di pusat negara, Komisi Pemilihan Umum dan jajaran elit negara lainnya selalu mewanti-wanti agar Pilkada 2018 & Pemilu 2019 berlaku damai—tanpa chaos atau perpecahan di urat persatuan anak bangsa. Kami tak ambil pusing dengan ujaran lipstick ini.

Bagi kami, kekacauan kewarasan sudahlah nampak sejak lama. Kala kubu Jokowi mulai bertempur sengit dengan kubu Prabowo sejak 2014, tentunya tak mungkin bagi kita berharap penuh adanya kewarasan berbangsa melalui jalan terang pemilu. Bahkan sejak pemilu-pemilu lampau sebelumnya, semua mimpi rakyat cuma dijadikan tipu-tipu gincu. Dari skala daerah hingga nasional, kebanyakan elit elektoral hanyalah monster bergairah darah dengan simpatisannya yang bebal.

Melihat kewarasan jelas tak mungkin diselamatkan melalui jalan kesesatan, kami mulai menebar bunga-bunga indah ini; memekarkannya di sudut-sudut keangkuhan ruangan yang membeku-bisu sebab para insan penghuninya sudah tiap hari kelelahan dihisap monster-monster dogma bahwa di antara kita musti dipastikan adanya elit berkuasa. Saat mereka yang dihisap sedang terlelap, kami bergerilya membikin taman-taman baru—yang mungkin bisa menjadi sekadar hiburan atau sebagai gambar penyaji pandangan baru.

 

Kami sadar aksi kami tak gagah—dan memang tak mencoba menjadi sok gagah ala parade Kiri yang memuja kuasa/politik alternatif sambil onani ke dinding negara. Dan, inilah album kami; karya gegabah Komite Anti Elektoral yang hanya mengandalkan modal nekat nurani dan tak apa bila sangat jarang diapresiasi. Akan selalu kami ingat, kenangan ini pernah membentang di: Banjarnegara, Cilacap, Jogja, Klaten, Semarang, Malang, Bekasi, & Bandung.

*) Album ini milik Komite Anti Elektoral (yang juga ber-side job sebagai Front Vandal Nusantara). Komite Alek dan FVN kini sudah tidak lagi mengada sebagai identitas namun roh vandalismenya diusahakan tidak pudar dari peredaran.

 

Antifa Berhijab? Nggak Masalah Tuh!

 

*Dipotret oleh Tukang Tato dari Alas Kawung.

Saat foto ini ditebar oleh page Front Vandal Nusantara via media sosial bikinan Mark Zuckerberg, banyak reaksi netizen yang keheranan seakan tak percaya. Sebagian mereka menganggap ini hanyalah guyonan. Sebagiannya lagi dengan agak percaya menganggap kagum bahwa skena antifasis telah menyusupi/disusupi perempuan-perempuan berhijab.

Respon seperti itu justru merepresentasikan alam bawah sadar netizen Indonesia—apalagi konten ini cenderung tersebar di kalangan aktivis, antiotoritarian, & sejenis intelektual kritis—masih dikangkangi oleh doktrin-doktrin ketidakmungkinan pertemuan antara ‘yang religius’ dengan ‘yang rebel’. Para konsumen dan pembagi konten ini masih banyak terjebak dalam kotak-kotak bahwa berpenampilan identik dengan agama tertentu cenderung ‘aneh’ untuk menjadi antifasis yang jelas-jelas melawan bigotri & konservatisme.

Namun hal-hal di atas tak jadi soal teramat serius. Memang benar memang, konten ini sengaja ditebar demi penyegaran lini pembangkangan. Justru sebagai penyegar, pic ini ingin menampar pikiran atau mental kita bahwa tidak ada yang tak mungkin bagi kita untuk bermain-main di antara lambang-lambang yang diidentikkan dengan konservatisme untuk menculiknya ke dalam teks-teks pembangkangan. Dan pula, potret ini justru bisa menjadi cerminan bahwa seberapa fasistiknya alam bawah sadar kita bila rasa aneh cenderung mendominasi saat melihat hijab sebagai simbol religi dipadupadankan dengan bendera antifa sebagai panji gaya pembangkangan atas kekolotan.

Lalu, seberapa fasiskah dirimu?

Tegas-Lindas ‘Polisi Kontol!’

 

*Dilukis oleh  Komite Libertarian Malang.

Pekalongan dalam Genangan: Tidak Baik-baik Saja!

 

 

*Dari kawan-kawan vandalis-muralis Pekalongan.

Luas wilayah yang hampir terkena rob sudah mencapai 30% di bagian utara Pekalongan dengan ketinggian bervariasi antara 5-50 cm. Hal ini jelas memberi efek buruk bagi masyarakat pesisir; dari kesulitannya mencari akses jalan tranportasi hingga masyarakat mulai kehilangan mata pencaharian.

Lalu mana peran pemerintah sebagai aparatur negara? Mereka mengalokasikan dana yang seharusnya untuk pembuatan tanggul malah untuk pembuatan pintu tol. Ketidakpedulian pemerintah hari ini tak lepas dari peran kapitalisme yang ingin merampas ruang hidup masyarakat dan dijadikanya gedung-gedung pencakar langit.

Terbukti telah tumbuhnya gedung-gedung di beberapa titik Pekalongan. Lalu mana kepedulian kita terhadap perawatan ruang hidup  merespon persoalan rob yang mulai genting?

Mural ini adalah sebagai awal untuk merespon persoalan rob yang kian hari makin dilupakan. Masyarakat disibukkan dengan munculnya wahana kapitalisme yang mulai tumbuh di bagian selatan—yang pada akhirnya hanya melupakan persoalan pokok; bahwa hari ini Pekalongan sedang tidak baik-baik saja.

Pasanglah ‘Jangan Percaya Politisi!’

 

Pertengahan 2018 menjadi awal momentum terpampangnya poster Jangan Percaya Politisi! pada sebagian sisi Kota Malang. Kala itu dalam naungan dinginnya malam, kami sengaja menebar kebencian—atau lebih tepatnya kebaikan—untuk menyambut datangnya musim elektoral Pemilu 2019.

Sebelum menebar pesan baik akan bahayanya politisi-politisi elektoral kepada Malang, kami sempatkan memajang seruan solidaritas pada jembatan penyeberangan karena saat itu masih panas-panasnya kabar penahanan kawan-kawan penentang ‘setan tanah’ di Jogja akibat menjalankan May Day sambil bebakaran pos polisi di simpang tiga UIN Sunan Kalijaga.

Poster ini adalah karya Komite Libertarian Malang. Karya ini begitu membahagiakan sebab beberapa akun turut menebarnya di lini medsos juga beberapa vandalis memasangnya di dinding-dinding urban. Saat pertama kali memajang pic ini, sebagian pelaku yang bertemu wajah belum menyadari bahwa passion mereka ini akan menginisiasi embrio Komite Anti Elektoral dan Front Vandal Nusantara.

Akhir kisah, laku gerilya kota dipungkasi dengan acara santap sahur bersama.

 

[Klik gambar untuk dapatkan .pdf poster berukuran 80 cm x 100 cm]