Kritik & Oto-kritik atas Diri Sendiri

Kartun dengan tajuk “Delusional Hypocrisy” karya Kavehadel/Cartoonmovement.com.

 

Setidaknya, sudah dua tahun lebih saya secara lebih mendalam membaca literatur-literatur anarkisme, dan berusaha mendalaminya. Sebagai seorang remaja labil, dengan segera saja aku mulai tertarik dengan gagasan, ide, serta mimpi-mimpi yang diusungnya. Dan kupikir, ini adalah hal yang sangat wajar. Mengingat bahwa memang kita semua hidup dalam berbagai krisis, yang membuat setiap orang perlu (setidaknya) satu pegangan hidup, berupa ideologi, yang sayangnya, itu semua hampir-hampir tak berguna di hadapan waktu yang terus bergerak. Semuanya ini adalah proses. Tak ada yang pasti, selain kematian. Bahkan, kematian sendiri adalah proses sebelum jasad mulai membusuk dan terlupakan. Tak ada nilai yang pakem. Dan setiap upaya untuk itu adalah kesia-siaan.

Sejak awal, setiap orang yang mulai mengenal anarkisme pasti akan menyadari (baik dari diri sendiri maupun dari pihak luar), bahwa anarkisme itu melampaui segala spektrum politik. Dan sayangnya, banyak dari kita yang gagal memahami, dan justru kita sendiri yang malah memenjarakan apa yang kita perjuangkan, dan justru menempatkannya pada titik ideal yang semu. Padahal, kita sendiri yang sempat mengatakan bahwa anarkisme melampaui segala nilai.

Tak ada lagi idealisme hari ini. Selain itu hanya merupakan pelumas masturbasi bagi mereka yang mengalami krisis identitas. Tak pernah ada yang benar-benar seorang anarkis. Tak ada yang benar-benar punk. Kita semua hanyalah badut yang mencoba menjadi manusia di tengah-tengah tatanan yang mendambakan sebuah tontonan, impian, dan harapan; karena kita hidup dalam keadaan yang terlalu buruk. Mengutip Chekov, harapan adalah musuh utama seorang tawanan.

Dan kita adalah tawanan. Tawanan dari nilai-nilai buatan kita sendiri, karena yang kita mampu hanyalah mengkhayal. Dan setiap sayatan di pergelangan kita adalah apa yang selama ini kita sebut sebagai upaya pembebasan.

Anarkisme itu memuakkan. Semakin kita mengenalinya, maka akan semakin pula kita akan berlari menjauhinya. Pun, dengan ideologi-ideologi lain. Semuanya hanyalah candu. Semuanya menawarkan nilai-nilai lama yang telah membusuk yang direduksi dengan kekuatan zaman. Ia adalah agama baru, dan kita dipaksa tunduk atasnya! Hidup akan menjadi lebih baik ketika kita menganutnya, dan jadilah musuhku jika kalian berbeda jalan denganku. Sudah seberapa fasis kita semua?

Sulit disangkal, bahwa semuanya bersifat mesianik. Jargon-jargon usang seperti “bunuh idolamu”, merupakan satu dogma tersendiri yang dipaksakan, karena kita semua memanglah munafik.

Semuanya berusaha menjadi Tuhan atas diri orang lain, sedangkan ia lupa menaruh kunci pintu surganya, karena terlalu mabuk akan nilai-nilai palsunya.

Tuhan telah mati, jauh hari sebelum Nietzsche menyiarkan berita kematiannya. Tak ada lagi yang perlu diperjuangkan untuk segala tawaran malaikat akan indahnya surga. Pun, tak ada lagi yang perlu ditakutkan dari ajakan iblis pada bara neraka.

Kini, yang ada hanyalah Aku yang masih hidup hingga detik ini. Menikmatinya saja tak cukup, karena ia berdiri di atas nilai-nilai. Lampaui!

NB: Aku tak akan meminta maaf kepada siapapun maupun membuat pleidoi pembelaan atas tulisanku ini. Persetan kalian semua!


*)Ditulis oleh: Arif Gilang, Doi juga jualan buku, brot, larisin! :p.